Matra hukum nasional belakangan ini sering disebut seperti sebuah kehidupan yang sangat memprihatinkan, tidak ada banyak perkara mengambang banyak penegak hukum menghancurkan pranata hukum.
Jaringan mafia atau calo perkara beroperasi dimana-mana, putusan hakim sering dikecam karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat atau keadilan hanya sebuah jargon, semakin tinggi jabatan seseorang, semakin sulit disentuh. Namun bagi ahli hukum sekaliber Yusril Ihza Mahendra, kerumitan seperti itu dalam penerapan hukum, tak menjadi kendala. Berbagai aksi hukum yang dilakukannya belakangan ini menunjukkan, hukum masih tetap bisa ditegakkan. Presiden sekalipun masih dapat disentuh.
Dengan penguasaan materi hukum dan keteguhan prinsip, dalam waktu kurang dari dua tahun, Yusril bisa memenangkan tiga perkara yang diperkarakannya. Tidak hanya itu, sosok yang menjadi sasaran tembaknya adalah bukan sembarang orang. Melainkan pimpinan tertinggi di Indonesia, yaitu Presiden SBY.
Kini, pakar hukum tata negara ini punya rekor tersendiri. Ia merupakan satu-satunya pengacara yang mampu mengalahkan Presiden SBY walaupun Presiden dikelilingi oleh para pakar hukum dari berbagai ilmu hukum. Dan yang lebih penting dari itu, tiga kemenangan Yusril tersebut telah menghapus stigma bahwa The President (King) Can Do No Wrong!, sehingga tidak heran banyak yang memuji dan mengapreasiasi Yusril sebagai seorang yang benar-benar pakar dalam Ilmu Tata Negara. Kepakarannya itu tidak lagi sekadar sebuah pujian basa-basi.
Bahkan kini sudah mulai ada himbauan agar ke depan Yusril sebaiknya menghentikan saja dulu gugatannya kepada Presiden atau pemerintah. Soalnya kalau Yusril menggugat dan terus menerus menang, lama kelamaan wibawa pemerintah (dalam penegakkan hukum) akan jatuh sampai ke titik paling rendah.
Tapi Yusril adalah Yusril, ia tidak terpengaruh dengan himbauan seperti itu. Pengacara yang memulai karirnya di dunia politik ini selain sudah memenangkan tiga perkara, pekan ini masih berencana menggugat lagi Presiden SBY melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Kalau pekan ini Yusril jadi menggugat Presiden SBY dalam soal grasi 5 tahun kepada terpidana narkotika Schapelle Corby yang dihukum 20 tahun, langkah ini kelak akan menjadi sebuah kasus hukum yang menarik. "Tidak ada pidana dalam hal ini, tapi ada kemungkinan dan ada peluang untuk dibatalkan (grasi)," kata Yusril, saat itu.
Yusril mengatakan, dia akan menggunakan Pasal 14 UUD 1945 tentang Grasi. Menurutnya, sebelum amanden pasal terkat grasi di UUD memberikan peluang bahwa grasi benar-benar hak prerogatif presiden, sehingga tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Namun setelah amandemen UUD 1945 yang pertama, hak prerogatif tersebut dipertanyakan dan diperdebatkan.
Pasal 14 UUD 1945 menyebutkan, Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, setelah amandemen kemudian menjadi, (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. "Setelah amandemen UUD tersebut grasi bukan lagi hak yang dimiliki presiden secara penuh sebagai konsekuensinya. Hak prerogatif kan hak yang tidak dapat dicampuri pihak manapun, tapi setelah amandemen, itu berubah," jelas Yusril.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Djoko Suyanto, mempersilahkan Yusril Ihza Mahendra menggugat kebijakan grasi Presiden SBY terhadap narapidana narkotika. "Silakan saja digugat, itu kan hak setiap warga negara, kita akan hadapi," ujar Djoko, di Istana Negara, tadi malam.
Djoko mengatakan, SBY akan menghadapi gugatan setiap warga negara, sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap keputusannya yang mengatasnamakan negara. "Pak presiden nanti akan dibantu oleh pengacara negara, dan Kementerian Hukum dan HAM," imbuhnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, SBY telah menandatangani surat grasi kepada tiga narapidana asing berwarga negara asing yakni, Schapelle Corby warga negara Australia, Peter Achim Frans Grobmann warga negara Jerman, dan seorang lagi warga negara Nigeria. Ketiga narapidana tersebut merupakan tahanan kasus narkoba yang dihukum di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar, Bali. Yusril mewakil LSM Gerakan Nasional Anti Narkorika (Granat) akan menggugat kebijakan grasi itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Jaringan mafia atau calo perkara beroperasi dimana-mana, putusan hakim sering dikecam karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat atau keadilan hanya sebuah jargon, semakin tinggi jabatan seseorang, semakin sulit disentuh. Namun bagi ahli hukum sekaliber Yusril Ihza Mahendra, kerumitan seperti itu dalam penerapan hukum, tak menjadi kendala. Berbagai aksi hukum yang dilakukannya belakangan ini menunjukkan, hukum masih tetap bisa ditegakkan. Presiden sekalipun masih dapat disentuh.
Dengan penguasaan materi hukum dan keteguhan prinsip, dalam waktu kurang dari dua tahun, Yusril bisa memenangkan tiga perkara yang diperkarakannya. Tidak hanya itu, sosok yang menjadi sasaran tembaknya adalah bukan sembarang orang. Melainkan pimpinan tertinggi di Indonesia, yaitu Presiden SBY.
Kini, pakar hukum tata negara ini punya rekor tersendiri. Ia merupakan satu-satunya pengacara yang mampu mengalahkan Presiden SBY walaupun Presiden dikelilingi oleh para pakar hukum dari berbagai ilmu hukum. Dan yang lebih penting dari itu, tiga kemenangan Yusril tersebut telah menghapus stigma bahwa The President (King) Can Do No Wrong!, sehingga tidak heran banyak yang memuji dan mengapreasiasi Yusril sebagai seorang yang benar-benar pakar dalam Ilmu Tata Negara. Kepakarannya itu tidak lagi sekadar sebuah pujian basa-basi.
Bahkan kini sudah mulai ada himbauan agar ke depan Yusril sebaiknya menghentikan saja dulu gugatannya kepada Presiden atau pemerintah. Soalnya kalau Yusril menggugat dan terus menerus menang, lama kelamaan wibawa pemerintah (dalam penegakkan hukum) akan jatuh sampai ke titik paling rendah.
Tapi Yusril adalah Yusril, ia tidak terpengaruh dengan himbauan seperti itu. Pengacara yang memulai karirnya di dunia politik ini selain sudah memenangkan tiga perkara, pekan ini masih berencana menggugat lagi Presiden SBY melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Kalau pekan ini Yusril jadi menggugat Presiden SBY dalam soal grasi 5 tahun kepada terpidana narkotika Schapelle Corby yang dihukum 20 tahun, langkah ini kelak akan menjadi sebuah kasus hukum yang menarik. "Tidak ada pidana dalam hal ini, tapi ada kemungkinan dan ada peluang untuk dibatalkan (grasi)," kata Yusril, saat itu.
Yusril mengatakan, dia akan menggunakan Pasal 14 UUD 1945 tentang Grasi. Menurutnya, sebelum amanden pasal terkat grasi di UUD memberikan peluang bahwa grasi benar-benar hak prerogatif presiden, sehingga tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Namun setelah amandemen UUD 1945 yang pertama, hak prerogatif tersebut dipertanyakan dan diperdebatkan.
Pasal 14 UUD 1945 menyebutkan, Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, setelah amandemen kemudian menjadi, (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. "Setelah amandemen UUD tersebut grasi bukan lagi hak yang dimiliki presiden secara penuh sebagai konsekuensinya. Hak prerogatif kan hak yang tidak dapat dicampuri pihak manapun, tapi setelah amandemen, itu berubah," jelas Yusril.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Djoko Suyanto, mempersilahkan Yusril Ihza Mahendra menggugat kebijakan grasi Presiden SBY terhadap narapidana narkotika. "Silakan saja digugat, itu kan hak setiap warga negara, kita akan hadapi," ujar Djoko, di Istana Negara, tadi malam.
Djoko mengatakan, SBY akan menghadapi gugatan setiap warga negara, sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap keputusannya yang mengatasnamakan negara. "Pak presiden nanti akan dibantu oleh pengacara negara, dan Kementerian Hukum dan HAM," imbuhnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, SBY telah menandatangani surat grasi kepada tiga narapidana asing berwarga negara asing yakni, Schapelle Corby warga negara Australia, Peter Achim Frans Grobmann warga negara Jerman, dan seorang lagi warga negara Nigeria. Ketiga narapidana tersebut merupakan tahanan kasus narkoba yang dihukum di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Denpasar, Bali. Yusril mewakil LSM Gerakan Nasional Anti Narkorika (Granat) akan menggugat kebijakan grasi itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sumber: http://www.waspada.co.id
0 comments