Wawancara ketika Yusril masih menjabat sebagai Ketua Umum PBB....
ISTIQOMAH. Itulah jalan hidup yang ditempuh Prof Dr Yusril Ihza Mahendra. Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini sejak remaja memang aktif berorganisasi. Ketika masih di SLTP, ia aktif di KAPPI. Saat berstatus mahasiswa pada 1978, ia pun sempat diskor 1,5 tahun ketika membakar patung Pak Harto.
ISTIQOMAH. Itulah jalan hidup yang ditempuh Prof Dr Yusril Ihza Mahendra. Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini sejak remaja memang aktif berorganisasi. Ketika masih di SLTP, ia aktif di KAPPI. Saat berstatus mahasiswa pada 1978, ia pun sempat diskor 1,5 tahun ketika membakar patung Pak Harto.
Lalu mengapa pakar hukum tata negara itu saat ini aktif berpolitik? ''Itu tuntutan keadaan,'' tukasnya.
Pria kelahiran Belitung, 5 Februari 1956 silam ini mengatakan tak dapat menolak ketika orang banyak mendaulatnya sebagai ketua umum partai. Namun ia mengaku tak asal terjun ke dunia politik. Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini berprinsip menggabungkan antara intelektualisme dan aktivisme. Artinya, ia tidak malu terjun dalam dunia pergerakan karena memiliki base akademik yang kuat.
''Dengan cara itu kita tahu apa yang sebenarnya harus dilakukan dan apa yang semestinya tidak diperbuat,'' ujarnya.
Walaupun saat ini waktunya banyak tersita mengurus partai, namun ia masih bisa meluangkan waktu bercengkerama dengan istri dan keempat anaknya. ''Saya tak ngotot-ngotot sehingga keluarga ditinggalkan begitu saja.''
Bekas pejabat tinggi di Sekretariat Negara RI ini menerima Hotma Siregar dari Media, Selasa silam, di rumahnya yang asri di bilangan Ciputat, Jakarta Selatan. Ia berbicara panjang lebar mengenai partainya, PBB, kemungkinan koalisi antarpartai, peran ABRI, kandidat presiden, isu kedekatan dengan Cendana hingga kehidupan pribadinya. Berikut petikannya:
Mukernas PBB yang berakhir Februari lalu merekomendasikan agar pemilihan presiden dilakukan secara langsung. Bisa dijelaskan mengapa PBB merekomendasikan hal itu?
Mukernas kemarin kita memang menegaskan kembali bahwa prinsipnya kita menghendaki presiden dipilih langsung. Tapi tidak untuk pemilihan presiden 1999.
Memang partai akan mengajukan calon presiden, prinsip yang kita sepakati adalah bahwa capres harus dari partai sendiri. Sangat ganjil jika partai mencalonkan ketua dari partai lain, misalnya PBB mencalonkan Habibie.
Kami ingin partai ini sedemokratis mungkin. Karena itu waktu mukernas kita menginventarisasi nama-nama berdasarkan usulan-usulan dari utusan cabang-cabang. Dari 318 utusan cabang diinventarisasi ada 10 nama capres. Nama saya masuk dan kita belum tahu hasilnya. Proses penilaian kesepuluh capres itu berlangsung selama satu bulan dan akan selesai April mendatang. Mereka inilah yang memilih 10 bakal calon yang diinventarisasi untuk ditentukan siapa yang skornya tertinggi.
Ini mencegah terjadinya nepotisme, begitu pula dalam mencalonkan anggota DPR sampai ke bawah (DPR pusat, DPRD I, dan DPRD II). Selain itu kecil kemungkinan terjadinya kolusi.
Dengan kata lain PBB akan mengusulkan untuk mengamandemen pasal 2 dan pasal 6. Dan itu berarti pula akan mengubah fungsi MPR?
Ya, dengan sendirinya. Di dunia ini kalau negara republik menganut sistem presidensial, pada umumnya presiden dipilih langsung. Misalnya Alberto Fujimori menjadi Presiden Peru, begitu juga Filipina dengan konstitusi baru. Barangkali cuma kita (Indonesia) di mana presidennya dipilih MPR.
Dari 48 parpol yang dinyatakan berhak ikut pemilu mendatang, 17 di antaranya adalah parpol yang berasaskan Islam. Berbagai usulan telah diajukan untuk menyatukan visi dan misi parpol Islam. Di antaranya pembentukan forum silaturahmi, koalisi, aliansi kampanye hingga aliansi figur. Bagaimana pendapat Anda?
Antara tuntutan normatif dengan realitas itu dua hal yang berbeda. Keinginan kita dari awal sebetulnya hanya ada satu kekuatan politik Islam, tapi kenyataannya ada banyak.
Saya yakin landasan filofis dari partai-partai itu sama. Tapi proses transformasi yang menjadi ideologi politik masing-masing partai Islam menunjukkan perbedaan-perbedaan.
Namun demikian keinginan untuk mencari titik temu bersama memang sudah banyak dilakukan hasilnya masih fifty-fifty belum sepenuhnya memuaskan karena masih ada perbedaan-perbedaan. Inilah realitas politik namanya. Parpol kan tidak sama dengan organisasi massa, bahkan ormas pun sulit bisa bersatu.
Saya kira tidak mungkin melebur parpol-parpol Islam menjadi satu, karena tidak demokratis juga. Saya melihat Islam itu menjunjung tinggi demokrasi, perbedaan dan keragaman. Bukan saja keragaman umat manusia tapi keragaman di kalangan umat Islam.
Saya kira akan terjadi proses seleksi secara wajar. Saya pernah mengatakan kalau PBB tidak mendapat kursi satu pun di DPR kita bubar saja. Buat apa mempertahankan sesuatu yang tidak laku dijual kepada rakyat.
PBB dinilai oleh pengamat sebagai salah satu parpol yang akan meraih suara banyak. Bagaimana komentar Anda?
Begitu partai ini berdiri perkembangannya cepat sekali. Terdapat di 27 provinsi dan 327 cabang dalam waktu enam bulan. Ya, sesuatu yang barangkali punya kekuatan juga di masyarakat.
Partai ini bukan partai yang sama sekali baru. PBB mempunyai sejarah dan akar sosiologis dalam masyarakat. Walaupun partai ini bukan mentah-mentah Masyumi dihidupkan kembali, tapi melihat Masyumi sebagai mentor politik: bagaimana kita bisa belajar, menimba pengalaman. Kita membikin partai baru tapi tidak menafikan sejarah. Kita tidak anti ahistoris, tidak mungkin.
Apakah PBB sudah mengamati kira-kira partai apa yang akan diajak berkoalisi?
Kita tidak bisa membuat perkiraan-perkiraan oleh karena masing-masing kekuatan riil parpol itu belum jelas. Kalau sekarang kita mengatakan akan berkoalisi dengan partai ini dan itu, pertanyaannya siapa membonceng siapa? Karena kekuataannya tidak jelas.
Kalau saya mengajak partai A ke PBB, saya mengajak dia atau sepantasnya saya yang dia ajak. Itu kan baru bisa diketahui setelah pemilu nanti.
Saya pikir tidak ada yang mendapatkan suara mayoritas sehingga mau tidak mau harus koalisi. Saya kira tidak ada satu kelompok pun yang bisa menafikan keberadaan golongan lain. Sebenarnya, secara politis dengan siapa pun kita bisa bekerja sama demi kebaikan bersama.
Mencermati kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini, masyarakat menyorot peran ABRI yang tampaknya tak mampu menyelesaikan dengan segera. Pendapat Anda?
Saya kira memang berat bagi ABRI karena memikul beban sejarah. Karena keterlibatan dalam dwifungsi dan begitu Orde Baru terpuruk, ABRI dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Secara politik, sebetulnya ABRI berada dalam posisi yang sulit karena pemihakannya pada satu kekuatan. Ketika terjadi perubahan politik besar-besaran ABRI berada pada posisi yang sulit karena peran sospolnya lebih menonjol dibanding kekuatan hankam.
Oleh sebab itu ketika menghadapi masalah-masalah dalam negeri, ABRI jadi serbasulit. Itu kita lihat pengalaman sekarang. Sejak awal saya tidak setuju ABRI terlibat dalam politik bukan hanya pemilu sekarang.
Dalam pemilu mendatang ABRI masih memperoleh ''jatah'' 38 kursi. Menurut Anda, apakah keterwakilan ABRI di DPR itu cukup untuk lima tahun ke depan?
Secara prinsip kami menolak, yang membuat kesepakatan kan kelompok Ciganjur. Saya nggak mau ikut.
Kekuatan ABRI di DPR setelah pemilu diperkirakan masih kuat. Kursi ''pasti'' 38 diperkiarakan akan bertambah dengan kursi dari utusan daerah dan golongan. Bagaimana analisis Anda?
Utusan daerah tidak sesederhana seperti apa yang dikatakan Amien Rais. Amien masih berpikir dalam konteks Orde Baru bahwa utusan daerah otomatis akan dikantongi Habibie. Karena siapa yang menjadi utusan daerah itu tergantung dari komposisi DPRD I.
Utusan golongan juga tak akan semena-mena otomatis akan dikantongi presiden. Karena itu ditetapkan berdasarkan usulan dari golongan-golongan yang bersangkutan. Muhammadiyah, misalnya, diberi utusan golongan, terserah mereka mau utus siapa. Presiden, sebagai head of state, dia hanya mengesahkan saja. Tidak berarti bahwa orang itu harus ditunjuk presiden.
Mengenai netralitas PNS dalam pemilu nanti, bagaimana status Anda?
Saya sudah mengajukan permintaan berhenti sebagai pegawai Sekneg sejak 5 Februari lalu ketika keluarnya PP tentang PNS. Jangan lupa, saya adalah ketua tim RUU tentang netralitas PNS. Saya memang tegas berpendirian bahwa PNS itu netral, tidak usah terlibat dalam orsospol.
Sebab saya berkeyakinan bahwa negara ini akan berjalan baik: pertama, kalau ada politikus yang idealis, punya komitmen besar untuk memajukan bangsa dan negara. Kedua, sistem kuat yang ditopang norma-norma hukum dan ditegakkan dengan konsisten. Ketiga, birokrasi yang bekerja secara profesional. Itu prasyarat untuk menyelesaikan problem-problem negara ini.
Karena saya yang menyusun RUU bahwa PNS tidak boleh ikut parpol, maka sayalah orang pertama yang akan menjadi korban. Dan saya konsisten, setelah UU-nya selesai, saya mengajukan permohonan dan pada 19 Februari sudah keluar keputusan presiden yang menyatakan saya berhenti terhitung sejak 1 Maret. Termasuk juga sebagai dosen di UI, jadi status saya akan berubah sebagai guru besar luar biasa. Tapi Anda boleh tanya Amien Rais, kabarnya dia cuti hingga lima tahun, tapi kok keluar surat pengangkatannya sebagai guru besar.
Berbagai isu menerjang Anda mulai dari kedekatan dengan Prabowo, lalu PBB mendapat dana dari Pak Harto. Tanggapan Anda?
Saya sering difitnah macam-macam, rumah saya ini katanya dikasih Pak Harto. Padahal saya tinggal di sini sejak 1984. Masuk di Sekneg baru 1995. Itu pun jadi orang kecil, masih anak buahnya Moerdiono (mantan Mensesneg). Ketemu presiden saja tidak pernah, masa ada kepala bagian ketemu presiden yang benar saja.
Ketika kami mengadakan muktamar di Padepokan Pencak Silat TMII muncul isu itu tempatnya Prabowo, Masya Allah. Bila dibandingkan dengan partai-partai lain, PAN misalnya Munasnya di Savoy Homan, PUDI di HI atau PKB di Peninsula. Kami tak sanggup menyewa gedung-gedung mewah. Isu di luar juga menyebutkan partai kami dibiayai Pak Harto. Saya tertawa saja mendengarnya.
Orang harus melihat kenyataannya, PBB itu uangnya pas-pasan. Ketika kami melakukan muktamar, pesertanya harus bermalam dalam satu kamar yang diisi enam orang.
Kenapa tidak bertanya mengapa PKB bisa menyewa Stadion Utama, Hotel Peninsula, dan helikopter. Duitnya banyak benar, tapi orang kok tidak bertanya uangnya dari mana. Kami yang partainya sederhana begini dibilang mendapat dana dari Pak Harto sedangkan Gus Dur yang mondar-mandir ke Cendana kenapa nggak ditanya.
Pak Harto dari dulu nggak pernah menyumbang untuk gerakan Islam. Kalau dia mau menyokong seharusnya dilakukan pada waktu masih berkuasa. Alangkah bodohnya saya menjadi ketua partai, ketika semua orang menghujat Pak Harto, kok tiba-tiba PBB menerima duit dari beliau. Kalau begitu nggak usah berpredikat profesor untuk seorang ketua partai, orang bego saja. Tapi kadang-kadang begitulah romantika politik, isu-isu yang berkembang. Tapi percayalah kami fair dan saya tidak akan memfitnah orang lain.
Barangkali itu risiko partai Islam, kita harus berpolitik secara etik keagamaan. Orang memfitnah kita tapi etik keagamaan mengatakan kita tidak boleh memfitnah orang lain. Repot juga, tapi itu kenyataannya.
Bisa diceritakan bagaimana Anda memandang hidup ini?
Usia saya 43. Saya menjadi profesor termuda di UI. Jabatan saya eselon IA di Sekneg, sama seperti dirjen. Beginilah hidup saya. Mobil itu (sambil menunjuk Volvo hitam di garasi) jangan salah paham, merupakan mobil pejabat eselon I yang nggak boleh dijual. Saya sendiri nggak sanggup membelinya.
Banyak dalam hidup ini peristiwa-peristiwa terjadi tanpa terduga. Saya tidak pernah bermimpi akan seperti ini, tidak pernah mengejar-ngejarnya. Segalanya berjalan secara alamiah. Kalau saya lihat ke belakang, saya ini anak orang kampung, anak biasa-biasa saja.
Sering kali saya memperoleh satu jabatan hanya beberapa tahun. Sebagai Ketua Tim Ahli Hukum DPR hanya 1,5 tahun; guru besar di UI hanya dua tahun; pejabat eselon I di Sekneg nggak sampai satu tahun. Saya memang tiga tahun di Sekneg (sejak 1995) tapi pangkat saya dua tahun lebih eselon 3 hanya kepala bagian. Apalah artinya yang bisa dibikin seorang kepala bagian.
Saya masih tetap dengan kebiasaan mengendarai mobil sendiri, dulu naik bus, memakai jins, memakai celana pendek di rumah. Kalau mau makan saya stop di pinggir jalan. Bukan satu dua saya makan, tiba-tiba banyak orang mengerubungi saya. Kadang-kadang saya merasa rikuh juga.
Jadi barangkali ada kesyukuran tapi juga banyak hal yang membuat saya harus banyak istighfar. Karena orang seperti saya kontrol sosialnya pasti kuat sekali.
Sekarang ini saya menjadi pengangguran, lebih banyak waktu mengurus partai. Kadang-kadang saya bertanya saya berhenti kerja mau makan dari mana. Belum tahu lagi apa yang mau dikerjakan.
Bagaimana jika nantinya PBB menetapkan Anda sebagai kandidat presiden?
Saya juga tidak membayangkan suatu ketika banyak orang mendukung saya menjadi presiden. Nggak ada sesuatu yang aneh kalau saya dicalonkan jadi presiden. Kalau nggak terpilih nggak apa-apa. Tak ada beban moral bagi saya. Barangkali orang seperti Pak Amien beban morilnya berat. Saya pikir jabatan dan lain-lain adalah amanah.
Kalaupun nanti saya didaulat menjadi presiden cukup sekali saja, setelah itu beri kesempatan kepada yang lain. Selalu saya punya pikiran semakin cepat selesai tugas yang diamanatkan kepada saya, semakin baik. Barangkali saya menjadi ketua partai ini sekali inilah. Kalaupun masih didesak maksimum dua kali setelah itu didesak seperti apa pun saya nggak mau lagi.
Apakah Anda sepakat bahwa kandidat presiden yang ada sekarang sudah harus mulai menjual program partainya?
Saya sering jelaskan dan saya mau berdebat dengan siapa pun. Saya heran orang seperti Amien Rais berdebat dengan saya kok tidak berani. Beberapa kali telah diusahakan. Celakanya dia kalau hadir dalam debat atau sesi, datang belakangan sedangkan pulang paling duluan. Itu tidak fair. Di TPI pernah mau debat langsung, katanya sudah on the way, saya tunggu, tiba-tiba dia tidak muncul.
Saya ingin ada debat terbuka, siaran langsung yang tidak diedit TV. Saya pikir itu akan fair. Apalagi, misalnya, kalau nanti saya diputuskan korps pemilih sebagai capres, saya akan ajak debat Megawati dan Amien Rais, ayo kita uji program-program. Tapi kesan saya orang-orang itu memilih menghindar. Saya tak tahu alasan mereka apa.
Kalau budaya politik Indonesia, misalnya, yang menjadi alasan?
Jangan lagi hidup-hidupkan jargon Orde Baru yang selalu bilang budaya belum siap. Negara ini nggak akan maju-maju. Kalau orang menyatakan siap menjadi presidennya harus siap segala-galanya. Jangan mencari-cari dalih tidak siap, dong. Masa rakyatnya tidak siap mendengar. Pak Harto juga berdalih budaya kita belum siap menjalankan demokrasi. Dengan cara itu ia berhasil mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun. Janganlah rakyat dianggap bodoh. Rakyat itu kan tergantung pada pemimpin-pemimpinnya.
Beberapa pengamat asing memprediksi akan muncul lima partai yang akan memperoleh suara berimbang. Komentar Anda?
Saya kira mereka nggak mengerti apa-apa, orang lain mungkin bisa dikibulin. Barangkali dalam hal ini saya lebih intens mengkaji politik Indonesia. Saya bilang awak ini profesor politik, apa pula yang mau dia bilang.
Analisis tentang satu partai akan keliru jika melihat pada banyaknya bendera dan massa. Itu kan yang tampak di permukaan.
Karena pemilu kan one man one vote. Sepuluh ribu mahasiswa memilih sama juga dengan sepuluh ribu pembantu rumah tangga atau tukang becak. Nggak ada perbedaan. Jadi saya pikir tidak sederhana menganalisis partai hanya melihat di Pulau Jawa, banyaknya bendera. Terlalu naif.
Apakah PBB juga menargetkan perolehan suara yang akan dicapai?
Kita tidak punya target karena tidak mendidik dan implikasinya besar sekali. Anda bisa bayangkan kalau partai A menargetkan 40% suara kenyataannya cuma mendapatkan 10% suara. Kan mereka bisa bilang macam-macam pemilu berlangsung curang, menuduh apalah.
Kami hanya ingin berpolitik secara jujur, adil. Kita mau melihat politik sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja. Kita ikut saja pemilu. Berapa pun suara yang kita dapat nanti, itulah hasilnya.
Apalagi saat ini PDI targetnya 40% suara, PKB 50% suara, PAN 35%, tiga partai itu saja sudah meraih lebih dari 100% suara. Saya pikir hal itu tidak mendidik. Kadang-kadang kita merasa diri sebagai harimau.
Karena ucapannya orang di atas bisa ditafsirkan lain pada level bawah. Dan saya tidak ingin membuat suasana politik menjadi keruh. Lebih baik kita siap pemilu; ya, kita siap menang tapi kita juga harus siap kalah. Kalau memang cuma itu yang kita dapat, ya, itulah yang harus diperjuangkan.
Saya ingin realistis saja. Kalau tidak mendapatkan suara seperti yang ditargetkan lantas apa statement politiknya. Apakah akan berani mengakui saya gagal, atau malah sebaliknya menyatakan pemilu berlangsung curang. Kalau pemilunya sudah dilaksanakan secara fair, lalu apa lagi alasan yang akan digunakan.
Saya pikir menahan dirilah, mudah-mudahan walaupun saya jauh lebih muda dari yang lain. Barangkali di antara nama-nama capres yang sudah beredar, saya paling muda, tapi saya ingin dan saya berharap lebih dewasa dalam pemikiran dan sikap politik, ha... ha... ha....
Pria kelahiran Belitung, 5 Februari 1956 silam ini mengatakan tak dapat menolak ketika orang banyak mendaulatnya sebagai ketua umum partai. Namun ia mengaku tak asal terjun ke dunia politik. Guru Besar Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini berprinsip menggabungkan antara intelektualisme dan aktivisme. Artinya, ia tidak malu terjun dalam dunia pergerakan karena memiliki base akademik yang kuat.
''Dengan cara itu kita tahu apa yang sebenarnya harus dilakukan dan apa yang semestinya tidak diperbuat,'' ujarnya.
Walaupun saat ini waktunya banyak tersita mengurus partai, namun ia masih bisa meluangkan waktu bercengkerama dengan istri dan keempat anaknya. ''Saya tak ngotot-ngotot sehingga keluarga ditinggalkan begitu saja.''
Bekas pejabat tinggi di Sekretariat Negara RI ini menerima Hotma Siregar dari Media, Selasa silam, di rumahnya yang asri di bilangan Ciputat, Jakarta Selatan. Ia berbicara panjang lebar mengenai partainya, PBB, kemungkinan koalisi antarpartai, peran ABRI, kandidat presiden, isu kedekatan dengan Cendana hingga kehidupan pribadinya. Berikut petikannya:
Mukernas PBB yang berakhir Februari lalu merekomendasikan agar pemilihan presiden dilakukan secara langsung. Bisa dijelaskan mengapa PBB merekomendasikan hal itu?
Mukernas kemarin kita memang menegaskan kembali bahwa prinsipnya kita menghendaki presiden dipilih langsung. Tapi tidak untuk pemilihan presiden 1999.
Memang partai akan mengajukan calon presiden, prinsip yang kita sepakati adalah bahwa capres harus dari partai sendiri. Sangat ganjil jika partai mencalonkan ketua dari partai lain, misalnya PBB mencalonkan Habibie.
Kami ingin partai ini sedemokratis mungkin. Karena itu waktu mukernas kita menginventarisasi nama-nama berdasarkan usulan-usulan dari utusan cabang-cabang. Dari 318 utusan cabang diinventarisasi ada 10 nama capres. Nama saya masuk dan kita belum tahu hasilnya. Proses penilaian kesepuluh capres itu berlangsung selama satu bulan dan akan selesai April mendatang. Mereka inilah yang memilih 10 bakal calon yang diinventarisasi untuk ditentukan siapa yang skornya tertinggi.
Ini mencegah terjadinya nepotisme, begitu pula dalam mencalonkan anggota DPR sampai ke bawah (DPR pusat, DPRD I, dan DPRD II). Selain itu kecil kemungkinan terjadinya kolusi.
Dengan kata lain PBB akan mengusulkan untuk mengamandemen pasal 2 dan pasal 6. Dan itu berarti pula akan mengubah fungsi MPR?
Ya, dengan sendirinya. Di dunia ini kalau negara republik menganut sistem presidensial, pada umumnya presiden dipilih langsung. Misalnya Alberto Fujimori menjadi Presiden Peru, begitu juga Filipina dengan konstitusi baru. Barangkali cuma kita (Indonesia) di mana presidennya dipilih MPR.
Dari 48 parpol yang dinyatakan berhak ikut pemilu mendatang, 17 di antaranya adalah parpol yang berasaskan Islam. Berbagai usulan telah diajukan untuk menyatukan visi dan misi parpol Islam. Di antaranya pembentukan forum silaturahmi, koalisi, aliansi kampanye hingga aliansi figur. Bagaimana pendapat Anda?
Antara tuntutan normatif dengan realitas itu dua hal yang berbeda. Keinginan kita dari awal sebetulnya hanya ada satu kekuatan politik Islam, tapi kenyataannya ada banyak.
Saya yakin landasan filofis dari partai-partai itu sama. Tapi proses transformasi yang menjadi ideologi politik masing-masing partai Islam menunjukkan perbedaan-perbedaan.
Namun demikian keinginan untuk mencari titik temu bersama memang sudah banyak dilakukan hasilnya masih fifty-fifty belum sepenuhnya memuaskan karena masih ada perbedaan-perbedaan. Inilah realitas politik namanya. Parpol kan tidak sama dengan organisasi massa, bahkan ormas pun sulit bisa bersatu.
Saya kira tidak mungkin melebur parpol-parpol Islam menjadi satu, karena tidak demokratis juga. Saya melihat Islam itu menjunjung tinggi demokrasi, perbedaan dan keragaman. Bukan saja keragaman umat manusia tapi keragaman di kalangan umat Islam.
Saya kira akan terjadi proses seleksi secara wajar. Saya pernah mengatakan kalau PBB tidak mendapat kursi satu pun di DPR kita bubar saja. Buat apa mempertahankan sesuatu yang tidak laku dijual kepada rakyat.
PBB dinilai oleh pengamat sebagai salah satu parpol yang akan meraih suara banyak. Bagaimana komentar Anda?
Begitu partai ini berdiri perkembangannya cepat sekali. Terdapat di 27 provinsi dan 327 cabang dalam waktu enam bulan. Ya, sesuatu yang barangkali punya kekuatan juga di masyarakat.
Partai ini bukan partai yang sama sekali baru. PBB mempunyai sejarah dan akar sosiologis dalam masyarakat. Walaupun partai ini bukan mentah-mentah Masyumi dihidupkan kembali, tapi melihat Masyumi sebagai mentor politik: bagaimana kita bisa belajar, menimba pengalaman. Kita membikin partai baru tapi tidak menafikan sejarah. Kita tidak anti ahistoris, tidak mungkin.
Apakah PBB sudah mengamati kira-kira partai apa yang akan diajak berkoalisi?
Kita tidak bisa membuat perkiraan-perkiraan oleh karena masing-masing kekuatan riil parpol itu belum jelas. Kalau sekarang kita mengatakan akan berkoalisi dengan partai ini dan itu, pertanyaannya siapa membonceng siapa? Karena kekuataannya tidak jelas.
Kalau saya mengajak partai A ke PBB, saya mengajak dia atau sepantasnya saya yang dia ajak. Itu kan baru bisa diketahui setelah pemilu nanti.
Saya pikir tidak ada yang mendapatkan suara mayoritas sehingga mau tidak mau harus koalisi. Saya kira tidak ada satu kelompok pun yang bisa menafikan keberadaan golongan lain. Sebenarnya, secara politis dengan siapa pun kita bisa bekerja sama demi kebaikan bersama.
Mencermati kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini, masyarakat menyorot peran ABRI yang tampaknya tak mampu menyelesaikan dengan segera. Pendapat Anda?
Saya kira memang berat bagi ABRI karena memikul beban sejarah. Karena keterlibatan dalam dwifungsi dan begitu Orde Baru terpuruk, ABRI dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Secara politik, sebetulnya ABRI berada dalam posisi yang sulit karena pemihakannya pada satu kekuatan. Ketika terjadi perubahan politik besar-besaran ABRI berada pada posisi yang sulit karena peran sospolnya lebih menonjol dibanding kekuatan hankam.
Oleh sebab itu ketika menghadapi masalah-masalah dalam negeri, ABRI jadi serbasulit. Itu kita lihat pengalaman sekarang. Sejak awal saya tidak setuju ABRI terlibat dalam politik bukan hanya pemilu sekarang.
Dalam pemilu mendatang ABRI masih memperoleh ''jatah'' 38 kursi. Menurut Anda, apakah keterwakilan ABRI di DPR itu cukup untuk lima tahun ke depan?
Secara prinsip kami menolak, yang membuat kesepakatan kan kelompok Ciganjur. Saya nggak mau ikut.
Kekuatan ABRI di DPR setelah pemilu diperkirakan masih kuat. Kursi ''pasti'' 38 diperkiarakan akan bertambah dengan kursi dari utusan daerah dan golongan. Bagaimana analisis Anda?
Utusan daerah tidak sesederhana seperti apa yang dikatakan Amien Rais. Amien masih berpikir dalam konteks Orde Baru bahwa utusan daerah otomatis akan dikantongi Habibie. Karena siapa yang menjadi utusan daerah itu tergantung dari komposisi DPRD I.
Utusan golongan juga tak akan semena-mena otomatis akan dikantongi presiden. Karena itu ditetapkan berdasarkan usulan dari golongan-golongan yang bersangkutan. Muhammadiyah, misalnya, diberi utusan golongan, terserah mereka mau utus siapa. Presiden, sebagai head of state, dia hanya mengesahkan saja. Tidak berarti bahwa orang itu harus ditunjuk presiden.
Mengenai netralitas PNS dalam pemilu nanti, bagaimana status Anda?
Saya sudah mengajukan permintaan berhenti sebagai pegawai Sekneg sejak 5 Februari lalu ketika keluarnya PP tentang PNS. Jangan lupa, saya adalah ketua tim RUU tentang netralitas PNS. Saya memang tegas berpendirian bahwa PNS itu netral, tidak usah terlibat dalam orsospol.
Sebab saya berkeyakinan bahwa negara ini akan berjalan baik: pertama, kalau ada politikus yang idealis, punya komitmen besar untuk memajukan bangsa dan negara. Kedua, sistem kuat yang ditopang norma-norma hukum dan ditegakkan dengan konsisten. Ketiga, birokrasi yang bekerja secara profesional. Itu prasyarat untuk menyelesaikan problem-problem negara ini.
Karena saya yang menyusun RUU bahwa PNS tidak boleh ikut parpol, maka sayalah orang pertama yang akan menjadi korban. Dan saya konsisten, setelah UU-nya selesai, saya mengajukan permohonan dan pada 19 Februari sudah keluar keputusan presiden yang menyatakan saya berhenti terhitung sejak 1 Maret. Termasuk juga sebagai dosen di UI, jadi status saya akan berubah sebagai guru besar luar biasa. Tapi Anda boleh tanya Amien Rais, kabarnya dia cuti hingga lima tahun, tapi kok keluar surat pengangkatannya sebagai guru besar.
Berbagai isu menerjang Anda mulai dari kedekatan dengan Prabowo, lalu PBB mendapat dana dari Pak Harto. Tanggapan Anda?
Saya sering difitnah macam-macam, rumah saya ini katanya dikasih Pak Harto. Padahal saya tinggal di sini sejak 1984. Masuk di Sekneg baru 1995. Itu pun jadi orang kecil, masih anak buahnya Moerdiono (mantan Mensesneg). Ketemu presiden saja tidak pernah, masa ada kepala bagian ketemu presiden yang benar saja.
Ketika kami mengadakan muktamar di Padepokan Pencak Silat TMII muncul isu itu tempatnya Prabowo, Masya Allah. Bila dibandingkan dengan partai-partai lain, PAN misalnya Munasnya di Savoy Homan, PUDI di HI atau PKB di Peninsula. Kami tak sanggup menyewa gedung-gedung mewah. Isu di luar juga menyebutkan partai kami dibiayai Pak Harto. Saya tertawa saja mendengarnya.
Orang harus melihat kenyataannya, PBB itu uangnya pas-pasan. Ketika kami melakukan muktamar, pesertanya harus bermalam dalam satu kamar yang diisi enam orang.
Kenapa tidak bertanya mengapa PKB bisa menyewa Stadion Utama, Hotel Peninsula, dan helikopter. Duitnya banyak benar, tapi orang kok tidak bertanya uangnya dari mana. Kami yang partainya sederhana begini dibilang mendapat dana dari Pak Harto sedangkan Gus Dur yang mondar-mandir ke Cendana kenapa nggak ditanya.
Pak Harto dari dulu nggak pernah menyumbang untuk gerakan Islam. Kalau dia mau menyokong seharusnya dilakukan pada waktu masih berkuasa. Alangkah bodohnya saya menjadi ketua partai, ketika semua orang menghujat Pak Harto, kok tiba-tiba PBB menerima duit dari beliau. Kalau begitu nggak usah berpredikat profesor untuk seorang ketua partai, orang bego saja. Tapi kadang-kadang begitulah romantika politik, isu-isu yang berkembang. Tapi percayalah kami fair dan saya tidak akan memfitnah orang lain.
Barangkali itu risiko partai Islam, kita harus berpolitik secara etik keagamaan. Orang memfitnah kita tapi etik keagamaan mengatakan kita tidak boleh memfitnah orang lain. Repot juga, tapi itu kenyataannya.
Bisa diceritakan bagaimana Anda memandang hidup ini?
Usia saya 43. Saya menjadi profesor termuda di UI. Jabatan saya eselon IA di Sekneg, sama seperti dirjen. Beginilah hidup saya. Mobil itu (sambil menunjuk Volvo hitam di garasi) jangan salah paham, merupakan mobil pejabat eselon I yang nggak boleh dijual. Saya sendiri nggak sanggup membelinya.
Banyak dalam hidup ini peristiwa-peristiwa terjadi tanpa terduga. Saya tidak pernah bermimpi akan seperti ini, tidak pernah mengejar-ngejarnya. Segalanya berjalan secara alamiah. Kalau saya lihat ke belakang, saya ini anak orang kampung, anak biasa-biasa saja.
Sering kali saya memperoleh satu jabatan hanya beberapa tahun. Sebagai Ketua Tim Ahli Hukum DPR hanya 1,5 tahun; guru besar di UI hanya dua tahun; pejabat eselon I di Sekneg nggak sampai satu tahun. Saya memang tiga tahun di Sekneg (sejak 1995) tapi pangkat saya dua tahun lebih eselon 3 hanya kepala bagian. Apalah artinya yang bisa dibikin seorang kepala bagian.
Saya masih tetap dengan kebiasaan mengendarai mobil sendiri, dulu naik bus, memakai jins, memakai celana pendek di rumah. Kalau mau makan saya stop di pinggir jalan. Bukan satu dua saya makan, tiba-tiba banyak orang mengerubungi saya. Kadang-kadang saya merasa rikuh juga.
Jadi barangkali ada kesyukuran tapi juga banyak hal yang membuat saya harus banyak istighfar. Karena orang seperti saya kontrol sosialnya pasti kuat sekali.
Sekarang ini saya menjadi pengangguran, lebih banyak waktu mengurus partai. Kadang-kadang saya bertanya saya berhenti kerja mau makan dari mana. Belum tahu lagi apa yang mau dikerjakan.
Bagaimana jika nantinya PBB menetapkan Anda sebagai kandidat presiden?
Saya juga tidak membayangkan suatu ketika banyak orang mendukung saya menjadi presiden. Nggak ada sesuatu yang aneh kalau saya dicalonkan jadi presiden. Kalau nggak terpilih nggak apa-apa. Tak ada beban moral bagi saya. Barangkali orang seperti Pak Amien beban morilnya berat. Saya pikir jabatan dan lain-lain adalah amanah.
Kalaupun nanti saya didaulat menjadi presiden cukup sekali saja, setelah itu beri kesempatan kepada yang lain. Selalu saya punya pikiran semakin cepat selesai tugas yang diamanatkan kepada saya, semakin baik. Barangkali saya menjadi ketua partai ini sekali inilah. Kalaupun masih didesak maksimum dua kali setelah itu didesak seperti apa pun saya nggak mau lagi.
Apakah Anda sepakat bahwa kandidat presiden yang ada sekarang sudah harus mulai menjual program partainya?
Saya sering jelaskan dan saya mau berdebat dengan siapa pun. Saya heran orang seperti Amien Rais berdebat dengan saya kok tidak berani. Beberapa kali telah diusahakan. Celakanya dia kalau hadir dalam debat atau sesi, datang belakangan sedangkan pulang paling duluan. Itu tidak fair. Di TPI pernah mau debat langsung, katanya sudah on the way, saya tunggu, tiba-tiba dia tidak muncul.
Saya ingin ada debat terbuka, siaran langsung yang tidak diedit TV. Saya pikir itu akan fair. Apalagi, misalnya, kalau nanti saya diputuskan korps pemilih sebagai capres, saya akan ajak debat Megawati dan Amien Rais, ayo kita uji program-program. Tapi kesan saya orang-orang itu memilih menghindar. Saya tak tahu alasan mereka apa.
Kalau budaya politik Indonesia, misalnya, yang menjadi alasan?
Jangan lagi hidup-hidupkan jargon Orde Baru yang selalu bilang budaya belum siap. Negara ini nggak akan maju-maju. Kalau orang menyatakan siap menjadi presidennya harus siap segala-galanya. Jangan mencari-cari dalih tidak siap, dong. Masa rakyatnya tidak siap mendengar. Pak Harto juga berdalih budaya kita belum siap menjalankan demokrasi. Dengan cara itu ia berhasil mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun. Janganlah rakyat dianggap bodoh. Rakyat itu kan tergantung pada pemimpin-pemimpinnya.
Beberapa pengamat asing memprediksi akan muncul lima partai yang akan memperoleh suara berimbang. Komentar Anda?
Saya kira mereka nggak mengerti apa-apa, orang lain mungkin bisa dikibulin. Barangkali dalam hal ini saya lebih intens mengkaji politik Indonesia. Saya bilang awak ini profesor politik, apa pula yang mau dia bilang.
Analisis tentang satu partai akan keliru jika melihat pada banyaknya bendera dan massa. Itu kan yang tampak di permukaan.
Karena pemilu kan one man one vote. Sepuluh ribu mahasiswa memilih sama juga dengan sepuluh ribu pembantu rumah tangga atau tukang becak. Nggak ada perbedaan. Jadi saya pikir tidak sederhana menganalisis partai hanya melihat di Pulau Jawa, banyaknya bendera. Terlalu naif.
Apakah PBB juga menargetkan perolehan suara yang akan dicapai?
Kita tidak punya target karena tidak mendidik dan implikasinya besar sekali. Anda bisa bayangkan kalau partai A menargetkan 40% suara kenyataannya cuma mendapatkan 10% suara. Kan mereka bisa bilang macam-macam pemilu berlangsung curang, menuduh apalah.
Kami hanya ingin berpolitik secara jujur, adil. Kita mau melihat politik sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja. Kita ikut saja pemilu. Berapa pun suara yang kita dapat nanti, itulah hasilnya.
Apalagi saat ini PDI targetnya 40% suara, PKB 50% suara, PAN 35%, tiga partai itu saja sudah meraih lebih dari 100% suara. Saya pikir hal itu tidak mendidik. Kadang-kadang kita merasa diri sebagai harimau.
Karena ucapannya orang di atas bisa ditafsirkan lain pada level bawah. Dan saya tidak ingin membuat suasana politik menjadi keruh. Lebih baik kita siap pemilu; ya, kita siap menang tapi kita juga harus siap kalah. Kalau memang cuma itu yang kita dapat, ya, itulah yang harus diperjuangkan.
Saya ingin realistis saja. Kalau tidak mendapatkan suara seperti yang ditargetkan lantas apa statement politiknya. Apakah akan berani mengakui saya gagal, atau malah sebaliknya menyatakan pemilu berlangsung curang. Kalau pemilunya sudah dilaksanakan secara fair, lalu apa lagi alasan yang akan digunakan.
Saya pikir menahan dirilah, mudah-mudahan walaupun saya jauh lebih muda dari yang lain. Barangkali di antara nama-nama capres yang sudah beredar, saya paling muda, tapi saya ingin dan saya berharap lebih dewasa dalam pemikiran dan sikap politik, ha... ha... ha....
0 comments