Ketika masih studi di India belasan tahun lalu, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra pernah merasa sangat jengkel. Tiap masuk ruang kuliah, dosennya selalu bertanya, ''Apakah Anda muslim?''
Ini gara-gara namanya tidak mencerminkan identitas seorang muslim, karena tidak diambil dari bahasa Arab sebagai bahasa Alquran (Kitab Suci Umat Islam-Red), seperti nama Abdul Hakim, Abdullah, Muhammad Hasan, atau nama Arab lainnya. Nama Yusril Ihza Mahendra dianggap lebih mencerminkan nama penganut agama Buddha.
Karena pertanyaan menjengkelkan itu terus berulang, akhirnya dia meminta KBRI untuk dibuatkan kartu identitas yang selain memuat namanya, juga sekaligus agama yang dipeluknya, yaitu Islam. ''Dengan kartu itu, tiap ada pertanyaan langsung saya tunjukkan dan biar mereka baca sendiri. Saya tidak perlu lagi menjawabnya,''
Meskipun demikian, dia tidak ingin mengganti namanya. Sampai sekarang dia tetap memakai nama pemberian orang tuanya: Yusril Ihza Mahendra. Sebab yang penting baginya bukan nama yang bersifat fisik, tetapi isinya, yakni prinsip hidup dan perilaku kesehariannya. ''Biar namanya diambil dari bahasa Arab, seperti Abdul Jalal atau Abdul Jamil, tetapi jika prinsip hidup dan perilakunya tidak Islami, ya tidak ada artinya. Tidak sesuai dengan makna yang dikandung oleh nama itu.''
Sebaliknya, biar namanya tidak diambil dari bahasa Arab, tetapi teguh memegang prinsip hidup dan perilaku yang Islami, baginya itu yang lebih baik. Biar tidak mengenakan pakaian jubah atau tidak berjenggot, jika terus memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat dan kenegaraan, itu yang perlu dipuji.
Karena sikap hidupnya seperti itu, dia pernah diminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat untuk berbicara di depan para tokoh nonmuslim untuk menjelaskan prinsip dan sikap Islam tentang pelaksanaan syariat dalam negara atau hubungan Islam dengan negara, sekalipun dia tidak punya basis pendidikan Islam secara formal. Itu terjadi saat usulan agar Departemen Agama dibubarkan cukup santer. Dia dipilih mewakili MUI, selain selaku pakar hukum tatanegara, juga dikenal sebagai tokoh yang kuat komitmennya terhadap Islam.
Sebagai Majelis Syuro DPP Partai Bulan Bintang (PBB), dia terus berupaya memajukan cita-cita dan semangat menegakkan syariat Islam, sebagaimana digariskan oleh partai.
Di antaranya untuk pembentukan berbagai qanun (sejenis Undang-undang-Red) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dia yang mengajukan gagasan pemberian otonomi khusus untuk Aceh sebagai solusi mengatasi konflik yang berkepanjangan di Serambi Mekah itu.
Melalui otonomi khusus itu diberlakukan syariat (hukum) Islam. ''Sekarang telah tersusun lima qanun untuk Aceh yang seluruhnya diambil dari prinsip-prinsip hukum Islam. Antara lain, qanun tentang perzinahan, minuman keras, dan khalwat. Saya tidak ingat semuanya, tetapi itu antara lain,'' lanjutnya.
Menurut Yusril , dengan pemberian otonomi khusus sesungguhnya konflik Aceh bisa dilokalisasi. Tetapi tiba-tiba Presiden Gus Dur menyetujui perundingan dengan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Tiro yang dimediasi Henry Dunant Centre (HDC), maka hancurlah upaya damai dalam mengatasi konflik Aceh.
Akibatnya, setelah Megawati menjabat presiden menggantikan Gus Dur, kebijakan operasi militer terpaksa diambil karena GAM sulit diajak berunding secara baik-baik. ''Ini kondisinya seperti zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib saat menghadapi Muawiyah (gubernur-Red). Akhirnya muncul kelompok-kelompok yang ke luar dari kubu Ali, seperti kaum Khawarij dan pendukung Ali (Syiah-Red) karena Ali bersedia berunding dengan Muawiyah yang memberontak pemerintahan yang sah. Ali sendiri tewas dalam permusuhan melawan Muawiyah.''
Tanpa Negara Islam
Dalam upaya menegakkan syariat Islam, menurut dia, tidak harus membentuk negara Islam. Nabi Muhammad sendiri tidak pernah membentuk negara Islam atau memberi nama pemerintahannya dengan nama negara Islam. Pemerintahan yang dibentuk adalah pemerintahan Madinah atau negara kota.
Dalam Piagam Madinah sebagai dasar hukum dalam bernegara dan berbangsa, Nabi juga memberikan hak-hak orang nonmuslim (Yahudi-Red) untuk menjalankan ajaran agamanya, selain membangun fasilitas-fasilitas untuk tegaknya syariat Islam. ''Jadi di sini nama negara Islam tidak penting. Yang lebih penting adalah isinya, yaitu menegakkan atau menerapkan syariat Islam, terutama yang berkait dengan hukum publik, seperti hukum pidana, perdata, keuangan, dsb,'' ujarnya.
Selama ini, tambah dia, banyak orang salah memahami tentang tuntutan tegaknya syariat Islam, sebagaimana diusulkan PBB dengan memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD. Sebagian orang mengatakan, tanpa memasukkan syariat Islam ke dalam UUD pun umat Islam Indonesia bisa menjalankan ibadahnya, seperti shalat, puasa Ramadhan, dan zakat dengan baik (bebas).
Menurutnya, pemahaman yang demikian itu keliru. Hal-hal yang menyangkut ibadah yang berdimensi hubungan manusia dan Tuhannya memang tidak perlu diatur dalam UUD/UU. Sebab pelaksanaan ibadah itu sudah merupakan kewajiban keagamaan yang otomatis umat Islam harus menjalankannya tanpa negara/aparat pemerintah turut campur.
Yang harus dijalankan atau diatur negara adalah yang menyangkut hukum-hukum publik, seperti hukum pidana, perdata, keuangan, dan lainnya. Sebab terhadap hukum publik itu tidak mungkin seseorang menjalankan sendiri secara individual. Contohnya, Laskar Jihad di Ambon merajam anggotanya yang diketahui berbuat zina. Itu tidak boleh, karena kewenangan mengatur hukum publik ada pada negara.
''Kalau setiap orang boleh menjalankan, wah negara bisa kacau.''
Misalnya, ada orang mencuri, apa boleh saat tertangkap langsung dijatuhi hukuman sendiri dengan potong tangan? ''Tidak boleh. Ini namanya main hakim sendiri. Dalam hal ini negara yang harus mengatur,'' jelasnya.
Jadi, tambahnya, jika isi Piagam Jakarta masuk ke UUD, maka yang berkewajiban menjalankan syariat Islam, sebagaimana dimaksud UUD itu adalah negara. Kewajiban itu bukan ditujukan kepada warga negara secara individual, tetapi ditujukan kepada negara. Itu hanya berkait dengan hukum-hukum publik, selain menyediakan fasilitas-fasilitas atau perangkat hukum yang diperlukan untuk tegaknya syariat Islam. Dan itu yang diperjuangkan PBB (dan sejumlah partai Islam lainnya).
Tetapi itu tidak berarti perjuangan PBB hanya dalam masalah ideologis. PBB juga punya banyak usulan untuk mengentaskan bangsa kita dari krisis yang berkepanjangan, baik di bidang ekonomi, politik, sosial atau lainnya. Hanya penegakan syariat Islam di kedepankan karena merupakan dasar pijakan yang sangat diperlukan untuk membangun bangsa ke depan.
Ini gara-gara namanya tidak mencerminkan identitas seorang muslim, karena tidak diambil dari bahasa Arab sebagai bahasa Alquran (Kitab Suci Umat Islam-Red), seperti nama Abdul Hakim, Abdullah, Muhammad Hasan, atau nama Arab lainnya. Nama Yusril Ihza Mahendra dianggap lebih mencerminkan nama penganut agama Buddha.
Karena pertanyaan menjengkelkan itu terus berulang, akhirnya dia meminta KBRI untuk dibuatkan kartu identitas yang selain memuat namanya, juga sekaligus agama yang dipeluknya, yaitu Islam. ''Dengan kartu itu, tiap ada pertanyaan langsung saya tunjukkan dan biar mereka baca sendiri. Saya tidak perlu lagi menjawabnya,''
Meskipun demikian, dia tidak ingin mengganti namanya. Sampai sekarang dia tetap memakai nama pemberian orang tuanya: Yusril Ihza Mahendra. Sebab yang penting baginya bukan nama yang bersifat fisik, tetapi isinya, yakni prinsip hidup dan perilaku kesehariannya. ''Biar namanya diambil dari bahasa Arab, seperti Abdul Jalal atau Abdul Jamil, tetapi jika prinsip hidup dan perilakunya tidak Islami, ya tidak ada artinya. Tidak sesuai dengan makna yang dikandung oleh nama itu.''
Sebaliknya, biar namanya tidak diambil dari bahasa Arab, tetapi teguh memegang prinsip hidup dan perilaku yang Islami, baginya itu yang lebih baik. Biar tidak mengenakan pakaian jubah atau tidak berjenggot, jika terus memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat dan kenegaraan, itu yang perlu dipuji.
Karena sikap hidupnya seperti itu, dia pernah diminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat untuk berbicara di depan para tokoh nonmuslim untuk menjelaskan prinsip dan sikap Islam tentang pelaksanaan syariat dalam negara atau hubungan Islam dengan negara, sekalipun dia tidak punya basis pendidikan Islam secara formal. Itu terjadi saat usulan agar Departemen Agama dibubarkan cukup santer. Dia dipilih mewakili MUI, selain selaku pakar hukum tatanegara, juga dikenal sebagai tokoh yang kuat komitmennya terhadap Islam.
Sebagai Majelis Syuro DPP Partai Bulan Bintang (PBB), dia terus berupaya memajukan cita-cita dan semangat menegakkan syariat Islam, sebagaimana digariskan oleh partai.
Di antaranya untuk pembentukan berbagai qanun (sejenis Undang-undang-Red) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dia yang mengajukan gagasan pemberian otonomi khusus untuk Aceh sebagai solusi mengatasi konflik yang berkepanjangan di Serambi Mekah itu.
Melalui otonomi khusus itu diberlakukan syariat (hukum) Islam. ''Sekarang telah tersusun lima qanun untuk Aceh yang seluruhnya diambil dari prinsip-prinsip hukum Islam. Antara lain, qanun tentang perzinahan, minuman keras, dan khalwat. Saya tidak ingat semuanya, tetapi itu antara lain,'' lanjutnya.
Menurut Yusril , dengan pemberian otonomi khusus sesungguhnya konflik Aceh bisa dilokalisasi. Tetapi tiba-tiba Presiden Gus Dur menyetujui perundingan dengan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Tiro yang dimediasi Henry Dunant Centre (HDC), maka hancurlah upaya damai dalam mengatasi konflik Aceh.
Akibatnya, setelah Megawati menjabat presiden menggantikan Gus Dur, kebijakan operasi militer terpaksa diambil karena GAM sulit diajak berunding secara baik-baik. ''Ini kondisinya seperti zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib saat menghadapi Muawiyah (gubernur-Red). Akhirnya muncul kelompok-kelompok yang ke luar dari kubu Ali, seperti kaum Khawarij dan pendukung Ali (Syiah-Red) karena Ali bersedia berunding dengan Muawiyah yang memberontak pemerintahan yang sah. Ali sendiri tewas dalam permusuhan melawan Muawiyah.''
Tanpa Negara Islam
Dalam upaya menegakkan syariat Islam, menurut dia, tidak harus membentuk negara Islam. Nabi Muhammad sendiri tidak pernah membentuk negara Islam atau memberi nama pemerintahannya dengan nama negara Islam. Pemerintahan yang dibentuk adalah pemerintahan Madinah atau negara kota.
Dalam Piagam Madinah sebagai dasar hukum dalam bernegara dan berbangsa, Nabi juga memberikan hak-hak orang nonmuslim (Yahudi-Red) untuk menjalankan ajaran agamanya, selain membangun fasilitas-fasilitas untuk tegaknya syariat Islam. ''Jadi di sini nama negara Islam tidak penting. Yang lebih penting adalah isinya, yaitu menegakkan atau menerapkan syariat Islam, terutama yang berkait dengan hukum publik, seperti hukum pidana, perdata, keuangan, dsb,'' ujarnya.
Selama ini, tambah dia, banyak orang salah memahami tentang tuntutan tegaknya syariat Islam, sebagaimana diusulkan PBB dengan memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD. Sebagian orang mengatakan, tanpa memasukkan syariat Islam ke dalam UUD pun umat Islam Indonesia bisa menjalankan ibadahnya, seperti shalat, puasa Ramadhan, dan zakat dengan baik (bebas).
Menurutnya, pemahaman yang demikian itu keliru. Hal-hal yang menyangkut ibadah yang berdimensi hubungan manusia dan Tuhannya memang tidak perlu diatur dalam UUD/UU. Sebab pelaksanaan ibadah itu sudah merupakan kewajiban keagamaan yang otomatis umat Islam harus menjalankannya tanpa negara/aparat pemerintah turut campur.
Yang harus dijalankan atau diatur negara adalah yang menyangkut hukum-hukum publik, seperti hukum pidana, perdata, keuangan, dan lainnya. Sebab terhadap hukum publik itu tidak mungkin seseorang menjalankan sendiri secara individual. Contohnya, Laskar Jihad di Ambon merajam anggotanya yang diketahui berbuat zina. Itu tidak boleh, karena kewenangan mengatur hukum publik ada pada negara.
''Kalau setiap orang boleh menjalankan, wah negara bisa kacau.''
Misalnya, ada orang mencuri, apa boleh saat tertangkap langsung dijatuhi hukuman sendiri dengan potong tangan? ''Tidak boleh. Ini namanya main hakim sendiri. Dalam hal ini negara yang harus mengatur,'' jelasnya.
Jadi, tambahnya, jika isi Piagam Jakarta masuk ke UUD, maka yang berkewajiban menjalankan syariat Islam, sebagaimana dimaksud UUD itu adalah negara. Kewajiban itu bukan ditujukan kepada warga negara secara individual, tetapi ditujukan kepada negara. Itu hanya berkait dengan hukum-hukum publik, selain menyediakan fasilitas-fasilitas atau perangkat hukum yang diperlukan untuk tegaknya syariat Islam. Dan itu yang diperjuangkan PBB (dan sejumlah partai Islam lainnya).
Tetapi itu tidak berarti perjuangan PBB hanya dalam masalah ideologis. PBB juga punya banyak usulan untuk mengentaskan bangsa kita dari krisis yang berkepanjangan, baik di bidang ekonomi, politik, sosial atau lainnya. Hanya penegakan syariat Islam di kedepankan karena merupakan dasar pijakan yang sangat diperlukan untuk membangun bangsa ke depan.
0 comments