Saturday, December 14, 2013

Mahkamah Konstitusi dan Sengketa Pilkada

Oleh : Prof.DR. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc
Pekerjaan yang amat menyita waktu dan pekerjaan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah menangani perkara-perkara Pilkada. Ketika RUU MK pertama kali dibawa ke DPR, saya tak pernah membayangkan MK akan tangani perkara-perkara pilkada yang begitu banyak. Pikiran saya waktu itu, maksud UUD 1945 memberi kewenangan kepada MK untuk memutus sengketa Pemilu, adalah pemilu yang tiap 5 tahun sekali itu.
Sebagai lembaga terhormat yang hakimnya terdiri atas para “dewa” saya tak ingin MK banyak-banyak bersidang. MK bersidang tidak banyak-banyak untuk menjaga kewibawaannya. Makin banyak sidang, makin besar kemungkinan wibawanya merosot. MK cukup mengadili hal-hal mendasar dalam menjaga agar konstitusi ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Yusril Ihza Mahendra (YIM)
Pemberian kewenangan kepada MK untuk mengadili sengketa Pilkada baru muncul kemudian, berdasar kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang (UU). Itu setelah terjadi perubahan konsep pilkada menjadi Pemilukada dengan cara pemilihan langsung. Oleh karena pilkada dikonsepkan sebagai Pemilukada, maka masuklah dia ke dalam kategori Pemilu. Pemilu adalah masalah konstitusi selanjutnya, karena pilkada berubah menjadi Pemilukada, dan masuk rezim hukum konstitusi, maka sengketa Pemilukada jadi kewenangan MK. Sejak itulah MK sibuk bukan kepalang menangani perkara Pemilukada.
Tahun 2013 ada sekitar 177 Pemilukada, sebagian besar dibawa ke MK. Saking banyaknya perkara Pemilukada, MK menjatah waktu untuk memeriksa dan memutusnya dalam waktu singkat, normalnya 14 hari. Akibatnya, proses pemeriksaan, penyampaian alat bukti terkesan tergesa-gesa dan sekedarnya. Proses pemeriksaan tidak pernah mendalam. Karena tergesa-gesa pertimbangan hukum majelis hakim MK juga terkesan tidak mendalam, seadanya saja, yang penting perkara diputus. Karena itu tidak usah heran para pihak yang berperkara sering tidak puas dengan pertimbangan hukum dan putusan MK dalam sengketa Pemilukada.
Para pencari keadilan yang jauh-jauh datang ke Jakarta dengan biaya yang besar, justru pulang dengan rasa kecewa dan pulang kampung deng anketidakadilan. Di tengan itu semua, merebak isyu adanya sogok-menyogok dalam sengketa Pemilukada, sampai akhirnya Ketua MK Akil Mochtar ditangkap oleh KPK.
Sudah lama saya menyerankan agar kewenanan MK menangani Pemilukada dicabut saja, karena membuat MK amat sibuk yang hanya deng an9 hakim itu. Anehnya, SBY tidak melakukan pencabutan kewenangan itu, dengan masa transisi tentunya, melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2013. Perpu malah mengatur hal-hal yang tidak mendesak dan tidak ada unsur kegentingan memaksanya seperti penambahan syarat untuk menjadi hakim MK.
Karena MK tetap saja berwenang tangani perkara Pemilukada yang tidak mendalam itu, maka kemarin terjadilah insiden rusuh di ruang sidang MK. Saya berpendapat kalau Pemilukada langsung tetap dilaksanakan dan MK mengadili sengketanya, maka kewibawaan MK akan runtuh, rusak binasa. Dalam pendapat saya, yang ideal menangani sengketa Pemilukada tingkat Kabupaten/Kota adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) setempat.
Mahkamah Agung (MA) harus segera memperbanyak Pengadilan Tinggi TUN yang sekarang hanya ada di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makassar. Keputusan KPUD tentang rekapitulasi hasil Pemilukada dan penetapan pasangan pemenang pada hakikatnya adalah putusan TUN. Sebagai putusan pejabat TUN maka yang paling berwenang mengadilinya adalah pengadilan TUN. Namun untuk lebih cepat, maka langsung PT TUN. Namun PT TUN membuka sidang seperti pengadilan tingkat pertama, bukan memeriksa berkas seperti pemeriksaan banding.
PT TUN dapat membatasi waktu pemeriksaan perkara Pemilukada misalnya 30 hari kerja sejak perkara didaftarkan. Mengingat hakim tinggi TUN cukup banyak, maka mereka dapat membentuk beberapa majelis, tidak hanya 1 majelis seperti MK. Dengan demikian, proses pemeriksaan perkara bisa mendalam dilakukan oleh majelis hakim, tidak terlalu buru-buru, kejar target waktu.
Para pihak yang berperkara juga leluasa membawa alat bukti, saksi dan ahli ke persidangan dan mengujinya secara terbuka dalam siding. PT TUN juga tidak perlu menciptakan yurisprudensi yang terlalu luas seperti dibuat MK dalam memeriksa perkara Pemilukada; yakni ada tidaknya pelanggaran yang bersifat sistematik, terstruktur dan massif, serta segala proses yang mengiringi pelaksanaan pemilukada.
Yurisprudensi MK itu bisa meluas kemana-mana memasuki berbagai bidang hukum, termasuk pidana dll, yang sebenarnya tidak bisa dinilai oleh MK. Majelis Hakim PT TUN cukup mengadili sengketa Pemilukada seperti layaknya sengketa TUN dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan.
Penggugat dalam sengketa Pemilukada cukup membuktikan apakah tergugat, dalam hal ini KPUD, dalam memutuskan hasil rekapitulasi dan menetapkan pasangan pemenang, dalam prosesnya bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bertentangan atau dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu dan/atau Pemilukada, atau tidak. Kalau bertentangan, maka majelis berwenang untuk membatalkan Keputusan KPUD tersebut.
Selanjutnya tergantung petitum dan amar putusan yang didasari oleh pertimbangan apa yang digunakan dalam memeriksa gugatan Pemilukada tersebut. Bisa saja majelis membatalkan SK KPUD dan memerintahkan Pemilukada ulang, atau putusan lain sebagaimana putusan MK selama ini.
Kita bisa berdiskusi apakah putusan PT TUN tersebut bisa diajukan kasasi atau tidak. Saya cenderung boleh kasasi yang waktunya dibatasi juga. Kalau nanti ada novum, termasuk ada suap pada hakim yang memeriksa, PK juga boleh, yang waktunya dibatasi juga agar tidak belarut-larut.
Dengan proses seperti ini, saya yakin para pencari keadilan dalam sengketa Pemilukada lebih punya kesempatan mendapatkan keadilan. Dibanding dengan MK sekarang yang putuskan final dan mengikat, kesempatan mencari keadilan jadi lebih sempit ruangnya.
Saya menyarankan ini semua, untuk tunjukkan bagaimana hukum dapat menjadi mekanisme mengatasi konflik. Jangan sampai kasus Pemilukada memerosotkan wibawa hukum dan lembaga peradilan di negara ini.
Semoga ada manfaatnya.
sumber : bulan-bintang.org judul asli : MK dan PEMILUKADA
Load disqus comments

0 comments