Wednesday, May 1, 1996

"Prosedur Pengangkatan Hakim Agung Mempengaruhi Kemandirian MA" (1996)

Wawancara Tahun 1996

Apa yang sedang berlangsung di lembaga Mahkamah Agung belakangan ini, di mana untuk menyelesaikan persoalan internalnya lembaga tersebut mengundang peran pihak luar (seperti yang ditunjukkan oleh usulan Ketua MA Soerjono kepada presiden agar Adi Andojo diberhentikan), mau tidak mau mengundang munculnya pertanyaan baru: apakah memang mekanisme atau proses yang melahirkan para hakim agungnya memungkinkan untuk itu? Di samping itu, apa pula implikasinya bagi perkembangan hukum ketatanegaraan kita jika presiden memberikan persetujuan atau ketidaksetujuan atas usulan Ketua MA itu? Untuk itu, Suwardi dari TEMPO Interaktif mewawancarai Yusril Ihza Mahendra, Ketua Jurusan Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga Pembantu Asisten Menteri Sekretaris Negara Urusan Khusus, untuk memperjelas perspektif persoalan tersebut.

Anda mengusulkan agar Presiden tidak menanggapi usulan Ketua MA agar Adi Andojo diberhentikan. Bagaimana jelasnya ide itu?  
Dalam undang-undang disebutkan bahwa usulan itu disampaikan oleh MA. Yang dimaksud MA adalah Ketua, Wakil Ketua, dan lima orang Ketua Muda. Jadi mestinya ketujuh pimpinan MA tersebut rapat dulu. Adi Andojo, sebagai unsur pimpinan, mesti diajak juga. Misalnya Adi Andojo tidak setuju, ya enam orang itu sudah sah. Tapi prosedur itu tidak ditempuh oleh Ketua MA. Itulah makanya saya anggap di situ terjadi penyimpangan prosedur. Nah, usul yang menempuh prosedur yang salah kan lebih baik dipertimbangkan sebagai tidak mempunyai akibat hukum sama sekali.

Meskipun demikian, saya menyadari bahwa Presiden dihadapkan kepada pilihan yang saya anggap sulit. Kalau sekiranya usulan itu diterima oleh Presiden -- kemudian Adi Andojo diberhentikan -- Presiden akan menghadapi kritik-kritik publik, dari dalam maupun dalam negeri. Sebab orang akan mengatakan, kok begini saja dipenuhi. Sebaliknya, kalau Presiden menolak usul itu, Presiden secara tidak langsung akan mempermalukan Ketua MA. Saya pikir, Presiden tidak begitu wataknya -- tidak ingin mempermalukan orang. Jadi apa alternatif yang paling baik? Bagi saya, ya tidak dijawab. Didiamkan itu pun sudah merupakan suatu jawaban. Artinya masalah itu dikembalikan lagi kepada MA, sesuai dengan permintaan Presiden semula. Semula kan Presiden meminta agar kasus itu diselesaikan sendiri oleh Pak Soerjono, Mahkamah Agung, secara intern.

Memang benar di dalam undang-undang dikatakan bahwa presiden adalah selaku kepala negara., bukan selaku kepala pemerintahan. Ada perbedaan kalau presiden melantik dan memberhentikan anggota DPR; dia memang betul-betul hanya kepala negara yang seremonial. Tindakannya itu tidak bisa dipersalahkan karena memang hanya seremoni. Hak untuk memberhentikan anggota merupakan hak dari DPP orsospol masing-masing. Presiden tinggal teken saja. Dia tidak punya tanggung jawab apa-apa di situ. Tapi lain halnya pada hakim agung. Kalau ada satu kursi hakim agung yang kosong, DPR mengajukan tiga calon, dan presiden boleh memilih salah satu. Kemudian kalau memberhentikan hakim agung, presiden bisa menolak, bisa menerima; artinya di sini presiden tidak semata-mata seremonial. Ada tanggung jawab moril untuk itu. Kalau sekarang diusulkan begitu oleh Pak Soerjono, kemudian presiden memenuhi, sebenarnya itu akan mempersulit posisi presiden karena masalah intern MA itu mestinya diselesaikan sendiri. Orang yang tidak setuju akan mengarahkan kritiknya kepada presiden. Padahal ini kasus intern di MA.

Apakah dasar yang dipakai untuk menghukum Adi Andojo, bahwa Adi dinilai indisipliner, itu memadai untuk menghukum seorang hakim agung yang kebetulan ketua muda?
Itu keliru sama sekali. Karena PP 30 tentang disiplin pegawai negeri, kemudian Keputusan Menpan No. 51 mengenai waskat, sebetulnya hanya berlaku untuk pegawai negeri atau birokrasi pemerintah. Sementara hakim agung kan bukan pegawai negeri, tapi pejabat negara. Sebagai pejabat negara ya tidak layak dikenai sanksi itu.

Jadi ada dua cacat di situ?
Iya.

Karena ini adalah kasus pertama, tentunya sikap atau keputusan yang diambil Presiden, apapun sikap atau keputusan itu, akan mempengaruhi pembentukan norma hukum di negara kita selanjutnya.  
Bagaimana Anda melihat kemungkinan implikasinya kelak?
Sebenarnya tidak ke sana larinya, tetapi implikasi yang ditimbulkan kalau persoalan di MA itu berlarut-larut. Dengan sendirinya wibawa MA akan merosot. Kepercayaan rakyat terhadap badan-badan peradilan akan berkurang. Dan lama-kelamaan orang meragukan negara kita ini negara hukum atau bukan. Kalau orang sudah tidak percaya bahwa lembaga peradilan adalah benteng dari keadilan, mereka akan cenderung main hakim sendiri. Ini adalah implikasi yang jelas terasa.

Saya berpendapat implikasi ini akan ada. Kalau tidak ada jaminan hukum, bagaimana Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas? Bagaimana investor mau menanamkan modalnya di sini? Di situ kan dituntut kepastian hukum. Kalau tidak ada kepastian hukum, mana mau negara lain berdagang dengan negara kita? Jadi saya melihat implikasi di bidang ekonomi dan sosial itu akan ada. Mengenai pengaruhnya ke pembentukan norma hukum baru, saya kira kok tidak langsung.

Apa pula implikasinya kalau cara yang sekarang dilakukan Ketua MA kelak dicontoh oleh ketua berikutnya?

Sebenarnya pecat-memecat di MA itu tidak layak. Kalau di dalam partai... ya sudahlah. Mahkamah Agung kan lembaga terhormat -- jabatan karier -- jauh dari masalah-masalah politik di mana mereka harus melihat persoalan secara jernih, dan pemihakan mereka hanya satu, yaitu kepada kebenaran dan keadilan. Ini artinya MA bisa mengesampingkan undang-undang kalau dianggap bahwa undang-undang itu bertentangan dengan rasa keadilan. Karena norma-norma hukum pun bisa diciptakan untuk melindungi kepentingan politik dari kelompok yang paling dominan. Tapi MA, sebagai badan peradilan tertinggi, bisa mengkesampingkan itu. Jadi, kalau pecat-memecat itu terjadi, dan Presiden menyetujui permintaan Ketua MA, itu memang menjadi preseden yang buruk untuk masa-masa yang akan datang. Akhirnya badan peradilan kita tidak berwibawa lagi.

Sampai tahap sekarang ini tampaknya pimpinan MA tidak berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri sebagaimana yang semula disarankan presiden. Apakah Anda juga melihatnya demikian?
Iya. Di sini memang tanggung jawab ketua besar. Dia tidak mampu menyelesaikan masalah itu. Yang menghadap Presiden dulu kan Pak Soerjono. Lagi pula ketua kan lebih berwibawa dibanding yang lain-lain, meskipun Ketua MA bukan bos dari para hakim agung.

Apakah Anda melihat sekarang ini MA memberi peluang ke arah mengundang campur tangan pihak luar?
Orde Baru ini kan bertekad untuk menegakkan konstitusi UUD 45. Cuma memang masih ada sedikit pengaruh dari pemerintah terhadap MA. Di dalam penjelasan UUD 45 dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, dan bebas dari campur tangan pemerintah. Kemudian di dalam TAP MPR No III/1978 ditambahkan bebas campur tangan pihak lain. Kalau di dalam UUD 45 hanya terhadap campur tangan pemerintah. Dengan demikian, setelah ditambah Tap MPR tadi, mestinya MA bebas sama sekali dari pengaruh luar. Masalahnya adalah bagaimana prosedur mengangkat hakim agung. Tadi dikatakan presiden dalam pengangkatan hakim agung ini tidak sepenuhnya bertindak sebagai kepala negara. Karena di dalam pengangkatan hakim agung itu presiden juga memilih dari calon-calon yang disodorkan oleh DPR, bukan cuma tinggal menandatangani. Ada pilihan-pilihan yang dibuat presiden sendiri. Jadi, menurut pendapat saya, mengenai soal ini memang belum ideal, belum sesuai pasal 24 UUD 1945. Memang soal rekruitmen hakim ini agak sulit.

Mestinya bagaimana agar prosedur pengangkatan itu sesuai dengan UUD 45?
Mestinya hakim agung itu dilantik oleh MPR. DPR yang membahas calon-calon, kemudian menyerahkannya kepada presiden untuk dipilih. Selanjutnya yang melantik MPR. Ini mestinya. Karena MPR kan pemegang kedaulatan tertinggi. Kemudian, di akhir masa jabatannya, kalau perlu Ketua MA bisa dimintai pertanggungjawabannya. Kalau sekarang kan siapa yang mengontrol MA? Saya dulu mengusulkan itu. Bagi saya sulit untuk membayangkan dalam sebuah negara hukum yang demokratis ada lembaga yang tidak bertanggung jawab kepada siapa-siapa.

Apakah peristiwa yang kita lihat sekarang ini ada hubungannya dengan prosedur pengangkatan hakim agung yang seperti tadi?
Ya. Memang. Karena presiden yang memilih dan melantik.

Tadi Anda katakan sebaiknya cara penyelesaian masalah MA sekarang tidak dengan cara pecat-memecat. Bagaimana cara penyelesaian yang lebih baik?
Apa yang dituduhkan oleh Adi Andojo itu harus disikapi. Pak Soerjono kan membentuk Korwasus. Korwasus itu kan lembaga pengawas yang kewenangannya terbatas, tidak bisa menyidik orang-orang di luar MA. Terhadap orang-orang seperti Dazuli Bahar yang sudah pensiun, atau Ram Gulumal, Korwassus tidak bisa memanggil orang-orang itu, karena mereka bukan orang MA. Jadi kewenangannya sangat terbatas. Dan Korwassus itu kan hasil penyidikannya tidak bisa ditindaklanjuti. Yang bisa menyidik sesuatu itu kan kejaksaan dan kepolisian. Tapi masalahnya kepolisian dan kejaksaan tidak mau bertindak.

Kalau masalahnya sudah terlanjur seperti ini apakah waktu tiga bulan itu cukup?

Sebenarnya masalah ini kan cuma Soerjono saja ketemu dengan Adi Andojo untuk berbicara. Dulu, saya mengajukan cara yang paling simple. Adi Andojo kan meniupkan adanya isu adanya kolusi lalu menyebar kemana-mana. Suruh saja polisi dan jaksa untuk memeriksa, ada tidaknya kolusi di MA.

Apa bisa polisi atau jaksa memeriksa hakim agung?
Boleh. Mereka kan juga warga negara biasa. Yang tidak boleh adalah anggota DPR -- harus lebih dulu ada persetujuan presiden. Untuk memeriksa anggota DPR, Jaksa Agung mengirimkan surat kepada presiden untuk meminta persetujuan supaya anggota DPR yang ini bisa diperiksa. Kalau untuk hakim agung tidak begitu ceritanya, kecuali kalau hakim agung itu mau ditangkap atau ditahan. Untuk itu harus ada persetujuan presiden. Kalau cuma untuk diperiksa tidak perlu itu. Setelah diperiksa, kalau misalnya terbukti dia bersalah, ya diajukan saja ke pengadilan. Hakim Agung juga bisa diadili di pengadilan negeri. Walaupun dia tukang mengadili orang di MA, dia bisa juga diadili di pengadilan. Kalau terbukti bersalah ya dihukum saja. Kalau misalnya tidak terbukti, ya Adi Andojo-nya yang ditangkap. Bahkan bisa diancam dengan hukuman subversi, karena kalau tidak terbukti dengan begitu telah merongrong kewibawaan negara. Tapi itu harus dibuktikan dulu di pengadilan. 
Kalau sudah terlanjur seperti ini, apa mungkin proses penyelesaian ini diulang dari awal seperti itu?  
Kenapa tidak? Kalau terbukti ya dihukum saja, dan kalau tidak terbukti ya Adi Andojo-nya saja dikejar. Saya kira Adi Andojo mau itu.

Sumber: Tempo Interaktif
Load disqus comments

0 comments