Keinginan untuk menghidupkan kembali Tap MPR VI/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris MPR untuk mengamankan hasil pembangunan mendapat tanggapan para pakar. Walaupun banyak kalangan menilai bahwa Tap MPR ini akan membuat kekuasaan di tangan presiden yang sudah besar, menjadi semakin besar lagi, tetapi agaknya akan ada tarik-menarik antara yang ingin Tap MPR itu gol dan yang tidak.Apakah masih relevan menghidupkan kembali Tap MPR VI tahun 1988 itu sekarang?
Menurut Yusril Ihza Mahendra, 41 tahun, yang dihubungi Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif, Rabu 20 Agustus 1997 melalui telepon,"Ketetapan MPR itu hanya untuk mengantisipasi situasi di masa depan". Menurut Ketua Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia ini, bisa saja Indonesia menghadapi situasi krisis, terutama bila ada konflik yang melibatkan elite kekuasan.
Tetapi Yusril juga mengingatkan kalaupun Tap MPR itu jadi diberikan kepada Mandataris MPR, diperlukan pembatasan-pembatasan terutama menyangkut tindakah khusus oleh presiden. Dalam pandangannya, apabila tindakan khusus itu dilaksanakan presiden, tindakan itu harus terlebih dulu disetujui DPR. Hal ini dikatakan doktor lulusan Sains University, Malaysia ini sebagai cara untuk mencegah terjadinya penyelewangan. Berikut petikan wawancaranya:
Kalau sekarang ini tidak perlu. Tap MPR VI/1988 itu hanya untuk mengantisipasi situasi di masa depan. Karena bisa saja terjadi krisis di masa depan yang melibatkan kelompok elite. Kalau konflik dan gejolak yang terjadi belakangan ini tidak melibatkan elite, hanya masyarakat bawah saja yang bergejolak. Tetapi kalau konflik antar elite itu terjadi, sampai ke bawah, itu akan menyulitkan presiden yang akan datang. Dalam keadaan itu, presiden yang baru dituntut untuk berbuat tegas untuk mengantisipasinya.
Kecuali seperti Presiden Soekarno dulu, yang bisa mendekritkan, kembali kepada UUD 1945. Tetapi perlu diingat posisi Soekarno pada tahun 1959 itu sangat kuat. Sedangkan pada tahun 1967, ketika Presiden Soeharto masih baru berkuasa, kekuasaanya juga belum optimal. Untuk itu ia tidak bisa bertindak tanpa kewenangan khusus. Hal mendesak itu bisa saja terjadi di masa depan.
Apa tidak akan menimbulkan keributan?
Pada saat Presiden Soeharto diberi wewenang khusus, tidak ribut dan memprotes, karena waktu itu memang dianggap perlu. Sebenarnya presiden di mana pun juga bisa bertindak dengan dasar hukum yang tidak tertulis untuk menyelamatkan negara. Presiden Soeharto setelah mendapatkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), ia segera membubarkan PKI, dan mengambil langkah-langkah yang luar biasa. Dan ia tidak akan bisa melakukan hal itu tanpa diberi kewenangan yang khusus oleh MPR. Sebab itulah Supersemar itu akhirnya dijadikan Ketetapan MPR. Kalau Supersemar itu hanya sekedar surat perintah dan dicabut kembali oleh Presiden Soekarno, Soeharto tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi.
Semenjak Supersemar sampai tahun 1988, substansi dari Tap MPR itu masih ada, tidak dihilangkan, walaupun hanya berlaku sampai lima tahun. Dan kewenangan khusus sebenarnya tidak pernah digunakan, hanya pada waktu pembentukan Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang memang sudah ada semenjak tahun 1967. Walaupun ada kewenangan itu, tetap harus ada pembatasan-pembatasan seperti pada pasal 3, yaitu adanya keharusan untuk tetap mengindahkan hak-hak warga negara dan hukum yang berlaku.
Bagaimana sebaiknya soal pelimpahan wewenang ini?
Kalau usul saya, sebelum tindakan khusus itu dilakukan, harus terlebih dulu mendapat persetujuan DPR. Jadi sejalan dengan rumusan pasal 11 UUD 1945, yang menyatakan Presiden dengan persetujuan DPR dapat menyatakan perang dan membuat perjanjian serta perdamaian dengan negara lain.
Kecuali DPR-nya sedang dalam keadaan reses, sedangkan keputusan untuk mengambil tindakan itu harus segera diambil, maka presiden harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu terbatas batas waktunya. Begitu sidang DPR dilakukan, Presiden harus mengajukan Perpu itu kepada DPR, kalau DPR menolak, maka Perpu itu harus dicabut. Jadi kewenangan Perpu itu ada restriksi atau pembatasan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang Presiden.
Apakah Anda melihat akan terjadi konflik antar elite di Indonesia?
Sekarang tidak ada, dan itu antisipasi untuk presiden yang akan datang. Menurut saya, Presiden Soeharto memang tidak memerlukan itu. Ia bisa atasi sendiri tanpa kewenangan khusus. Seperti Soekarno tahun 1960, ia bisa bertindak di luar hukum tanpa harus dengan kewenangan khusus. Karena setiap presiden di mana pun juga memiliki wewenang seperti itu, berdasarkan ketentuan perundangan yang tidak tertulis.
Seandainya ada presiden baru, tentu posisinya belum kuat. Sebut saja nama-nama orang yang punya potensi menjadi Presiden, BJ Habibie, Harmoko, Hartono, atau Ginandjar. Misalnya saja Harmoko menjadi wakil Presiden dan nanti menggantikan Presiden, apakah ia punya kekuatan seperti Presiden Soeharto, 'kan tidak. Banyak musuhnya dan banyak saingannya, maka dia bisa dihantam.
Kalau untuk lima tahun mendatang ini, apa mungkin terjadi suksesi. Bukankah sudah bisa dipastikan presidennya tetap Pak Harto?
Untuk lima tahun ini mungkin ya, tetapi orang juga harus menghitung kemungkinan lain. Karena lima tahun sekarang berbeda dengan lima tahun yang dulu.
Maksudnya bila presiden berhalangan?
Maksudnya bila presiden berhalangan?
Ya, bisa ditafsirkan seperti itu. Dan sudah pasti yang akan menggantikan itu wakil presiden. Wakil presiden yang menjadi presiden baru itu, bisa saja menghadapi situasi seperti Pak Harto ketika menjadi pengemban Supersemar dan menjadi Presiden. Presiden baru itu belum tentu mempunyai kekuatan yang besar.
Apakah dimungkinkan pemegang mandat MPR itu bisa menunjuk orang selain wakil Presiden?
Tidak bisa. Kecuali terjadi pada jaman Presiden Soekarno, karena ia berada pada posisi yang sangat kuat saat itu. Saya tidak melihat posisi sekarang ini sekuat posisi Presiden Soekarno dulu. Apalagi Soekarno memanfaatkan konflik-konflik di masyarakat yang memiliki latar belakang ideologi. Misalnya antara PKI dengan kalangan Islam, mereka jelas-jelas punya akar konflik yang dalam sekali, dan sekarang ini tidak ada kecenderungan itu. Yang terjadi sekarang ini adalah konflik kepentingan, karena hanya masalah kepentingan maka tidak ada kawan yang abadi dan lawan yang abadi.
Akan tetapi konflik antar elit bisa saja terjadi. Misalnya, seperti yang sedang terjadi di Kamboja sekarang. Di sana konflik yang berdasarkan ideologi hampir tidak ada, berbeda misalnya dengan 10 atau 20 tahun lalu. Dan konflik antar elit itu bisa sampai ke bawah. Hal itu bisa saja terjadi di Indonesia. Hal ini yang membuat saya tidak terlalu a priori dengan Tap MPR itu. Yang penting Tap MPR itu diberikan dengan adanya pembatasan-pembatasan, supaya tidak terjadi penyalahgunaan.
Seperti jaman Presiden Soekarno, ia pernah dua kali membubarkan lembaga yang didirikan rakyat. Pertama, ia membubarkan konstituante, dan kedua membubarkan DPR pada tahun 1960. Atas dasar apa Soekarno membubarkan Konstituante dan DPR. Hal itu bisa ia lakukan semata-mata karena posisinya memang sangat kuat. Dan saya melihat Presiden Soeharto yang berkuasa 30 tahun, tidak pernah mengambil tindakan sekejam yang dilakukan Soekarno.
Kalau pengemban Tap MPR merasa kekuasaannya besar, mengapa harus ijin DPR jika hendak mengambil tindakan khusus?
Kalau pun kewenangan khusus itu harus seijin DPR, maka yang menjadi pertanyaan, mungkinkah presiden membubarkan DPR dengan persetujuan DPR. Sepertinya hal itu tidak mungkin. Andai saja Soekarno dulu harus meminta persetujuan DPR untuk membubarkan DPR, maka saya pastikan DPR-nya tidak akan bubar.Tetapi yang dia lakukan adalah membubarkan DPR dan partai-partai politik.
Apakah bisa Tap MPR yang tidak diutak-atik alias tidak ada, kemudian dihidupkan kembali seperti semula?
Bisa saja dan sifatnya tidak menghidupkan Tap MPR yang lama, tetapi membuat Tap MPR yang baru, walaupun substansinya pernah ada dalam Tap-Tap MPR sebelumnya. Karena sifat Tap MPR itu sendiri yang memang terbatas hanya lima tahun, jadi Tap MPR yang lama itu tidak dicabut secara formal tetapi habis masa berlakunya.
Jadi?
Nanti MPR akan membuat Tap yang baru. Hanya saja perlu diperbaiki istilah yang berkaitan dengan hukum, itu harus ditinjau kembali. Misalnya istilah pelimpahan wewenang, istilah itu tidak jelas artinya dari segi hukum, karena seolah-olah kewenangan bertindak itu ada pada MPR, dan baru kemudian dilimpahkan kepada Presiden. Padahal MPR jelas-jelas tidak bisa melimpahkan apa-apa kepada Presiden. MPR itu hanya memberi tugas kepada Presiden untuk dilaksanakan. Jadi bukan semacam pelimpahan tugas, tetapi MPR memberikan tugas dan wewenang, dan dengan kewenangan itu Presiden bisa bertindak secara khusus dengan persetujuan DPR.
Tetapi saya melihat sejak tahun 1973 sampai tahun 1988, kewenangan khusus itu hampir tidak pernah dipergunakan. Kecuali adanya Kopkamtib, yang memang sering bertugas di luar batas-batas ketentuan hukum. Oleh karena itu banyak dikritik dan Kopkamtibnya dibubarkan.
Apakah Anda melihat adanya kelompok kritis dari masyarakat yang akan berbeda pendapat?
Konfliknya akan terjadi di tingkat elite. Kalau di tingkat bawah orang mau membuat kerusuhan di Pekalongan atau di mana-mana, sebentar saja bisa diatasi. Kalau konflik di Kamboja itu hanya konflik antar faksi militer di bawah, maka sebentar saja bisa diatasi. Sekarang ini konflik di Kamboja itu menjadi sulit diatasi karena ada Sihanok, maka sulit sekali diatasi. Sehingga kalau konflik itu dibiarkan terus dan presidennya tidak diberi kewenangan khusus maka lama-kelamaan negara ini bisa menjadi anarki. Dan menurut pendapat saya, terkadang lebih baik ada satu pemerintahan diktator dari pada pemerintahan yang anarki. Bukan berarti saya setuju adanya diktator loh.
Saya pernah mempelajari teori-teori dari hukum-hukum Islam klasik, dan di sana dikatakan lebih baik 60 tahun di bawah sultan yang dholim daripada satu hari tidak ada sultan. Saya berpikir ini teori gila, tetapi setelah saya mempelajari negara Somalia, saya menjadi percaya. Karena di Somalia, pemimpin-pemimpinnya bertikai dan tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab. Rakyatnya banyak yang mati kelaparan, dibunuhi oleh geng-geng, dan tidak ada pemimpin yang bertanggung jawab secara politik di sana. Di Uganda ada diktator Idi Amin, dan ada orang yang berani melawannya, lantas ada yang bertanggung jawab.
Kasus Indonesia 'kan berbeda?
Kalau di Indonesia terjadi konflik antar faksi yang parah antar seperti itu, siapa yang akan bertanggung jawab. Kalau di Kamboja masih mendingan ada yang bertanggung jawab, karena sampai sekarang Hun Sen yang dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab. Tetapi kalau tidak ada yang bertanggung, bisa terjadi seperti di masa lalu, Kamboja menjadi negara yang tidak memiliki pemerintahan. Dan saya melihat ada kemungkinan seperti itu, maka saya hanya mengatakan sediakan payung walaupun sekarang ini masih musim kemarau.
Konflik elit akan berkembang jika melibatkan militer, apakah itu bisa terjadi di Indonesia?
Sekarang tidak ada, tetapi ketika tahun 1966 pernah ada. Tahun 1966 itu Angkatan Darat berhadap-hadapan dengan Angkatan Udara, Oemar Dhani mendukung Soekarno dan paling berseberangan dengan Angkatan Darat. Angkatan Darat sendiri waktu itu terpecah-pecah, ada kelompok Cakrabirawa dan lainnya. Dan di masa depan saya tidak tahu, tinggal bagaimana menganalisisnya.
Apakah dimungkinkan adanya pembatasan dalam Tap MPR yang mengatur pelimpahan wewenang itu nanti?
Mungkin saja, karena sekarang ini saja dengan Tap MPR VI/1988 sudah ada pembatasan, dibandingkan dengan Tap sebelumnya. Hanya saja pembatasan itu yang perlu dipertegas.
Dengan adanya rencana penghidupan kembali Tap MPR VI/1988 itu, apakah tidak akan memberi kesan negara dalam keadaan gawat?
Tidak. Seperti dulu ada undang-undang SOB tahun 1959 yang menyatakan negara dalam keadaan darurat, toh tidak pernah digunakan. Jadi ada ketentuan hukum itu dan dibenarkan untuk bertindak, terutama dalam situasi dalam keadaan bahaya, tetapi 'kan tidak dilakukan paling-paling hanya dikenakan jam malam. Misalnya ketika Jakarta terjadi peristiwa 5 Januari 1974 (Malari). Waktu terjadi peristiwa 27 Juli 1996 juga tidak dikenakan jam malam.
Bagaimana dengan kemungkinan lahirnya lembaga-lembaga ekstra yudisial seperti Kopkamtib?
Kalau pun akan dibentuk, harus ada persetujuan dari DPR. Kalau dulu tidak ada persetujuan DPR, ia bertindak post factum, dibuat dulu baru dilaporkan kepada Presiden. Dan Kopkamtib sendiri berdiri tidak atas dasar Tap MPR ini, Kopkamtib itu terbentuk berdasarkan Supersemar.
Apakah Tap MPR ini tidak bertentangan dengan demokratisasi yang sekarang ini menjadi tuntutan masyarakat?
Demokrasi itu bisa berjalan dalam keadaan normal. Kalau seperti negara Somalia apakah ada demokrasi. Dan hal itu bisa saja terjadi di Indonesia, dan hal itu pun sudah pernah terjadi di Indonesia, pada 3 Juli 1946. Pada waktu itu Perdana Menteri Sutan Sjahrir diculik oleh barisan pemuda kelompoknya Tan Malaka atau Adam Malik, dan dalam situasi seperti itu Soekarno mengambil alih seluruh kekuasaan. Padahal waktu itu Soekarno hanyalah Presiden konstitusional bukan presiden yang memiliki kekuasaan langsung. Peristiwa itu mengakibatkan krisis. Krisis itulah yang memaksa Soekarno bertindak luar biasa. Kalau keadaan seperti itu, mau demokrasi bagaimana.
Saya tidak melihat Tap MPR ini ada gunanya dalam keadaan normal, dalam keadaan yang tidak normalah Tap MPR VI ini ada gunanya. Kita harus mempersiapkan diri dalam keadaan paling buruk, sedia payunglah walaupun masih musim kemarau.
0 comments