Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra tidak terlalu memperdulikan sorotan khalayak di Belanda terhadap hasil wawancaranya dengan koresponden televisi NOS di Jakarta, Step Vaessen. Ia merasa dalam wawancaranya tidak pernah mengeluarkan kata-kata membenci siapapun, termasuk orang-orang Belanda.
Untuk itu, Yusril menekankan janganlah melihat isi wawancaranya dengan wartawan Belanda itu secara sepotong-sepotong. "Saya hanya ingin mengatakan, mereka sepertinya merasa Indonesia masih menjadi bagian dari negara jajahannya, sehingga mau ikut campur urusan dalam negeri kita. Di Belanda saja perubahan KUHP nya, kita tidak pernah ikut campur," ujarnya.
Soal pernyatannya yang dianggap membenci Belanda, Yusril tidak mau ambil pusing. "Biar saja. Tentunya ada yang mencari-cari keuntungan dari keadaan seperti ini. Yah seperti di Indonesia, biasa kan kalau ada anggota DPR nya yang teriak-teriak minta putus hubungan," ucap Yusril yang ditemui seusai membuka rapat koordinasi HAM Direktorat Jederal Perlindungan HAM Depkeh dan HAM di Jakarta (09/10).
Yang pasti, lanjutnya, ia tidak pernah membenci siapapun. Yang ia benci adalah perbuatan mereka (Belanda,red) yang selalu bersikap tidak adil. Bahkan, Yusril balik mempertanyakan sikap anggota parlemen Belanda, yang menganggap revisi KUHP yang akan dilakukan Indonesia dengan memasukkan syariat Islam, sebagai undang-undang barbar.
"Anggapan masuknya syariat Islam dalam revisi KUHP sebagai barbar akan menyulitkan hubungan mereka (Belanda) sendiri dengan negara Islam di dunia, bukan saja dengan Indonesia," ucap Yusril.
Wawancara Yusril-Vaessen (NOS) dengan Yusril memang disiarkan secara berulang-ulang sepanjang malam di Belanda. Awalnya, wawancara Yusril dan Vaessen yang berlangsung di ruang kerjanya itu menyoroti kebijakan pemerintah pemerintah yang tidak memberikan fasilitas bebas visa atau visa on arrival bagi orang Belanda.
Syariah Islam
Tapi Yusril menjawab bahwa soal kebijakan visa tersebut masih baru keputusan rapat polkam, jadi belum final. Namun sepertinya wartawan Belanda ini, Yusril menilai, terus mencecarnya mengapa Belgia diberikan fasilitas bebas visa, dan Belanda tidak.
"Sepertinya ia mengharapkan keluar dari mulut saya, kita tidak memberikan fasilitas bebas visa karena masalah Maluku, yang menganggap orang Belanda sebagai provokator. Saya tidak mau terpancing," ujar Yusril.
Yusril menceritakan bahwa wawancara itu berlangsung satu jam lebih, dan pada saat itu juga Vaessen mempertanyakan soal revisi Wetboek van Strafrecht (KUHP) yang sebagian besar isinya mengadopsi hukum syariah Islam, terutama pasal-pasal tentang susila.
Yusril menjelaskan bahwa kalau kumpul kebo di masyarakat Barat adalah biasa. Tapi di negara mayoritas muslim itu tidak bisa diterima. Nah, karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim maka jika di kampung ada pasangan kumpul kebo, itu menimbulkan keresahan dan gejolak sosial.
Syariah Islam hanyalah salah satu dari empat sumber hukum yang dijadikan rujukan revisi KUHP. Selain syariah Islam, revisi KUHP juga memasukkan hukum adat, hukum eks Belanda, dan konvensi Intenasional. "Jadi tidak hanya hukum Islam," jelasnya.
Nah, ketika dicecar soal HAM di Indonesia, Yusril menandaskan tidak pantas ada pertanyaan seperti itu. Selaku bangsa yang dijajah, menurut Yusril, Indonesia lebih mengetahui soal HAM.
"Anda tahu berapa sudah rakyat Indonesia yang dibunuh Belanda? Apa yang telah dilakukan Belanda terhadap rakyat Indonesia di Sulawesi? Westerling membantai 40.000 rakyat Sulawesi, tapi sampai sekarang apa pernah ada investigasi? Bahkan ia pulang ke Belanda mendapat penghargaan dari ratu. I hate them" tukas Yusril. Kata terakhir Yusril inilah yang kemudian menyulut kemarahan beberapa anggota parlemen Belanda.
"Kata benci itu tidak bisa kita terima. Seperti apapun negara itu, betapapun besarnya negara itu, ungkapan kebencian kepada kita itu tidak bisa kita terima," ujar kata Wilders," ujar Geert Wilders anggota Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD) sebagaimana dikutip dari detik.com.
Wilders, yang berasal dari Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi yang saat ini berkuasa menyebutkan bahwa rencana revisi KUHP warisan Belanda dengan memasukkan sentuhan Syariah sebagai Undang-Undang Barbar. Dan ia sudah menyampaikan nota tertulis kepada Menlu Belanda Jaap de Hoop Scheffer agar segera melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Sumber: hukumonline
0 comments