Pemerintah berdalih pengajuan PK hanya boleh sekali untuk menghindari perkara berlarut-larut.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang hanya membolehkan peninjauan kembali (PK) satu kali dalam perkara pidana bertentangan dengan asas keadilan. Terlebih, jika dikaitkan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyebut kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
“Kalau ditemukan bukti-bukti baru (novum) di kemudian hari yang sungguh meyakinkan, mengapa kita harus mempertahankan norma Pasal 268 ayat (3) KUHAP ini?” kata Yusril saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan Antasari Azhar dkk di Gedung MK, Rabu (15/5).
Yusril mengingatkan, tujuan akhir peradilan itu untuk menegakkan keadilan itu sendiri. “Jika seorang yang divonis hukuman seumur hidup atau mati menemukan novum baru, sebelum dieksekusi, haruskah dipasung haknya memperoleh keadilan hanya karena PK hanya boleh satu kali,” kata Yusril kembali mempertanyakan.
Menurutnya, keadilan dan kepastian hukum itu haruslah berjalan secara beriringan. Soalnya, tidak ada kepastian hukum tanpa keadilan dan tidak akan pernah ada keadilan tanpa kepastian hukum. Dalam hukum positif, kepastian hukum lebih banyak berurusan dengan norma hukum acara, salah satunya aturan PK hanya boleh sekali adalah demi kepastian hukum.
Mantan Menteri Kehakiman ini mengatakan dalam kasus putusan Antasari dari sudut kepastian hukum sudah pasti. Sebab, dia telah dipenjarakan selama 18 tahun oleh tiga kali putusan pengadilan dan 1 kali pengajuan PK ke MA. Namun, jutaan orang di luar pengadilan menganggap Antasari tidak dihukum dengan keadilan, tetapi dengan kedzaliman.
Sebaliknya, Direktur Litigasi Kemenkumham Mualimin Abdi berpendapat jika permohonan PK lebih dari sekali dapat merusak tatanan sistem hukum pidana dan penyelenggaraan proses peradilan pidana. Menurutnya, Pasal 66 ayat (1), Pasal 263 ayat (1), Pasal 268 ayat (3) KUHAP telah memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Pasal itu juga tidak membatasi atau menghalangi hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidup seperti dijamin Pasal 28C ayat (1) UUD 1945,” kata Mualimin.
Pemerintah berpandangan apabila tidak diatur mengenai pembatasan berapa kali upaya hukum PK dapat diajukan justru akan terjadi ketidakpastian hukum yang menyebabkan perkara tidak pernah selesai. Pembatasan ini untuk memberikan kepastian hukum atas penyelesaian perkara agar seseorang tidak dengan mudah melakukan upaya hukum PK berulang-ulang.
“Pembatasan ini sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan untuk menghindari proses peradilan yang berlarut-larut,” katanya.
Hal senada disampaikan DPR yang menyatakan pengajuan PK lebih dari sekali bisa mengakibatkan tidak diperolehnya kepastian hukum bagi pencari keadilan. Pasalnya, dengan tidak dibatasinya PK, pemeriksaan terus berlanjut tanpa ada ujungnya. “Pengaturan PK sudah jelas dan tegas diatur. Tetapi, memang dalam praktik ada pengajuan PK bisa diajukan berkali-kali, bukan hanya sekali,” kata Ahmad Yani.
Tak hanya itu, kata Yani, faktanya PK juga diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Padahal Pasal 268 ayat (1) KUHAP, disebutkan PK hanya bisa diajukan oleh terpidana dan ahli waris.
Namun, saat ditemui usai persidangan, Yani mengatakan DPR berencana memasukkan materi PK ini dalam revisi RUU KUHAP agar bisa dilakukan lebih dari satu kali apabila ditemukan bukti baru. Menurutnya, perubahan RUU KUHAP akan lebih memberikan ketegasan pengajuan PK hanya bisa diajukan oleh terpidana dan ahli waris.
Dalam kasus gugatan Antasari ke MK, lanjut Yani, DPR hanya berwenang untuk menjelaskan tentang konteks Pasal 268 ayat (3) UU KUHAP yang sedang diperkarakan, bukan berarti pandangan final dari DPR.
“Di sini kita menyampaikan pandangan yang sudah ada, putusannya kita serahkan sepenuhnya pada majelis,” lanjutnya.
Untuk diketahui, Andi Syamsuddin Iskandar, Boyamin Saiman, dan Antasari mengajukan permohonan uji materi Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan peninjauan kembali (PK) hanya sekali. Permohonan itu untuk mengungkap dan mencari pelaku pembunuh Nasrudin sesungguhnya. Soalnya, pihak keluarga Nasrudin belum yakin Antasari adalah otak pembunuhan Nasrudin.
Mereka juga berharap MK dapat memberi tafsir bersyarat agar ketentuan PK dapat diajukan lebih dari sekali sepanjang ditemukan novum dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sehingga Antasari bisa mengajukan PK kedua. Antasari sendiri telah divonis 18 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan hingga permohonan PK Antasari pun kandas.
Sumber: www.hukumonline.com
0 comments