Saturday, May 18, 2019

PEOPLE POWER AKHIRNYA AKAN MENCARI LEGITIMASI KONSTITUSIONAL

Oleh :Yusril Ihza Mahendra*

Akhir-akhir ini kosa kata “people power” banyak terdengar dalam dalam wacana politik usai pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Secara sederhananya, istilah “people power” itu dimaksud sebagai penggunaan kekuatan massa (rakyat) untuk mendesakkan perubahan politik atau pergantian kekuasaan di suatu negara. Umumnya people power itu digunakan untuk meruntuhkan rezim yang berkuasa relatif terlalu lama, dianggap diktator, sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat. Sementara upaya-upaya normal konstitusional untuk melakukan perubahan terhalang oleh kekuatan rezim, baik menggunakan kekuatan militer maupun kekuatan lembaga-lembaga konstitusional dan administratif yang direkayasa begitu rupa untuk melanggengkan kekuasaan.
Dalam sejarah ada beberapa kasus “people power” seperti terjadi di Philipina dalam meruntuhkan kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos, dan “people power” dalam mendesakkan mundurnya Presiden Sukarno (1966/1967) serta people power dalam mendesak untuk “melengserkan” Presiden Suharto (1998). Akibat people power yang terjadi berminggu-minggu lamanya di Metro Manila, Marcos akhirnya meninggalkan Philipina menuju Guam, pulau kecil tidak jauh dari Philipina tetapi menjadi wilayah Amerika Serikat. Presiden Sukarno juga secara bertahap dimundurkan dari kekuasaannya pasca G
30 S, setelah lebih 20 tahun menjabat sebagai Presiden, namun baru sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 benar-benar efektif sebagai kepala pemerintahan. Presiden Suharto, akhirnya juga “menyatakan berhenti” dari jabatannya setelah berkuasa lebih dari 30 tahun akibat krisis moneter dan segala implikasinya yang mulai terjadi pada akhir 1997. Baik Sukarno maupun Suharto didesak untuk turun dari jabatannya melalui gerakan massa yang disebut dengan prople power itu.
Dari tiga kasus sejarah di atas, kita dapat menyaksikan keberhasilan “people power” dalam menurunkan rezim. Siapa yang menjadi pemimpin people power tidak terlalu jelas. Memang akan selalu ada tokoh yang mengipas-ngipasi people power, namun gerakan itu umumnya terjadi secara spontan dan massif. Berbeda dengan revolusi atau kudeta yang biasanya dipimpin seorang tokoh sentral tanpa melibatkan massa yang besar. Setelah rezim jatuh, maka pemimpin revolusi otomatis mengambil alih kekuasaan. Jenderal Ayyub Khan di Pakistan (1958) atau Kolonel Muammar Ghaddafi di Libya (1969) misalnya otomatis mengambil alih kekuasaan di negaranya dan membentuk kekuasaan baru dengan cara-cara revolusioner. Baru kemudian mereka mengumumkan konstitusi untuk memberi legitimasi pada kekuasaan mereka.
Dalam satu kasus people power di Philipina, dan dua kasus di negara kita, people power tidak mempunyai tokoh sentral. Setelah didesak dengan kekuatan massa di jalan-jalan utama Manila, Marcos pergi meninggalkan negaranya. Dalam situasi seperti itu rakyat mendesak Congress Philipina untuk bersidang. Congress akhirnya memberhentikan Marcos dan menunjuk Ny. Corazon Aquino, seorang ibu rumah tangga istri dari tokoh oposisi Philipina Ninoy Aquion yang mati ditembak rezim Marcos di Bandara Manila beberapa tahun sebelumnya.
Pasca G 30 S akhir 1965 demo besar2an juga terjadi hampir merata di kota-kota besar negara kita. Tuntutan pembubaran PKI menggema di mana2. Juga tuntutan perbaikan ekonomi dan stabilitas politik yang cukup parah di masa itu. Keadaan politik yang tidak stabil dan kemunduran ekonomi serta kesengsaraan yang luar biasa, akhirnya mendesak Presiden Sukarno mundur. Sementara Jenderal Suharto yang pada waktu itu telah menjadi “pengemban Supersemar” dan secara praktis mengendalikan keadaan dengan Operasi Pemulihan Ketertiban dan Keamanan, oleh Sidang Istimewa MPRS akhirnya ditetapkan sebagai Pejabat Presiden setelah sebelumnya memberhentikan Presiden Sukarno dengan menempuh jalan konstitusional. Presiden Sukarno diberi kesempatan dua kali untuk menyampaikan pidato pertanggungjawaban atas tuduhan pelanggaran GBHN yang berjudul “Nawaksara” dan ditolak MPRS. Presiden Sukarno ketika itu tidak mempunyai wakil, setelah Wakil Presiden Mohammad Hatta mengundurkan diri pada tahun 1956.
Dalam kasus people power tahun 1998, Presiden Suharto juga didesak mundur karena dianggap terlalu lama berkuasa dan melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Demo besar2an di Jakarta dan juga kerusuhan Mei 1998 akhirnya memaksa Presiden Suharto “menyatakan berhenti” dari jabatannya dalam sebuah pidato di Istana Negara pada tanggal 22 Mei 1998. Seketika setelah menyampaikan pidato itu, Wakil Presiden BJ Habibie diambil sumpahnya sebagai Presiden RI di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung yang hadir lengkap pada waktu itu.
Dari uraian sejarah di atas, dilihat dari sudut hukum tata negara, apa yang dilakukan Jenderal Ayyub Khan di Pakistan dan Kolonel Moammar Ghaddafi di Libya dapat dikategorikan sebagai suatu kudeta, yakni pengambil-alihan kekuasaan secara revolusioner dengan menggunakan cara-cara di luar konstitusi yang berlaku. Revolusi yang berhasil, dengan sendirinya menciptakan kekuasaan yang sah.
Jika pemimpin revolusi berhasil mempertahankan kekuasaannya yang baru, maka kekuasaan baru itu menjadi sah secara konstitusional, meskipun awalnya mereka mengambil alih kekuasaan melalui cara-cara inkostitusional.
Namun kasus runtuhnya kekuasaan Marcos, Sukarno dan Suharto yang terjadi bukan karena revolusi, tetapi terjadi melalui “people power”, maka penguasa baru memerlukan legitimasi konstitusional untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan norma-norma konstitusi yang berlaku ketika itu. Pergantian Sukarno ke Suharto dan pergantian Suharto ke BJ Habibie berjalan secara konstitusional.
Sangat sulit untuk membayangkan pada sebuah negara demokrasi, ada penguasa yang memegang kekuasaan dan menjalankan roda pemerintahan, sementara konstitusionalitas pemerintahannya terus-menerus dipertanyakan. Pemerintahan yang tidak didukung oleh basis konstitusional yang sah tidak akan pernah mampu menciptakan pemerintahan yang normal. Kalau itu terjadi, maka lama kelamaan penguasa baru ini akan menjadi diktator baru yang berpotensi mendorong terjadinya kudeta atau people power sekali lagi untuk memaksa mereka turun dari tampuk kekuasaan.
Dalam kasus Marcos, walaupun awalnya didesak dengan “people power”, namun akhirnya Marcos diberhentikan secara konstitusional dari jabatannya berdasarkan Konstitusi Philipina yang berlaku ketika itu. Ny Corazon Aquion yang ditetapkan sebagai Presiden menggantikan Marcos, juga dilakukan secara konstitusional, sehingga tidak ada pihak yang mempertanyakan keabsahan pemerintahannya. Sejak itu keadaan di Philipina berangsur-angsur normal kembali.
Pergantian kekuasaan dari Presiden Sukarno yang sebelumnya telah ditetapkan oleh MPRS sebagai Presiden Seumur Hidup, akhirnya sulit juga untuk bertahan akibat desakan untuk mundur pasca G 3O S. Proses pemberhentian Presiden Sukarno memerlukan waktu hampir dua tahun, sehingga akhirnya pada tahun 1967 MPRS mencabut TAP tentang pengangkatan beliau sebagai Presiden Seumur Hidup yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Seperti telah saya katakan di atas, Presiden Sukarno juga dimintai pertanggungjawaban oleh MPRS dan ditolak, dan dengan penolakan itu beliau diberhentikan sebagai Presiden RI. MPRS akhirnya menetapkan “pengemban” Supersemar Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden RI.
Terlepas dari persoalan rekayasa politik dari kalangan militer atas proses pemberhentikan Presiden Sukarno dan pengangkatan Pejabat Presiden Jenderal Suharto, tetapi semua proses itu berjalan secara konstitusional.
Demikian pula pergantian kekuasaan dari Presiden Suharto ke Presiden BJ Habibe pada tahun 1998, walaupun awalnya didesak melalui people power, namun akhirnya proses pergantian itu mencari bentuk konstitusionalnya. Awalnya, Presiden Suharto dipilih kembali oleh MPR untuk kesekian kalinya dalam SU MPR tahun 1997. Jika keadaan berlangsung normal, maka jika Presiden Suharto ingin berhenti dari jabatannya, maka proses itu harus melalui MPR. Namun karena desakan “people power”, Gedung DPR/MPR di Senayan dikuasai oleh para demonstran, MPR hampir mustahil untuk dapat bersidang, maka sesuai dengan TAP MPR No. VII/1973 Presiden Suharto menyampaikan Pidato Pernyataan Berhenti di Istana Negara tanggal 22 Mei 1998. Seketika itu juga Wakil Presiden BJ Habibie mengucapkan sumpah di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung menjadi Presiden RI.
Memang ada debat akademik terhadap masalah konstitusionalitas yang ketika itu saya hadapi berdua dengan guru saya almarhum Prof Dr Ismail Suny, namun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya pada tahun 1998 itu juga menyatakan proses berhentinya Presiden Suharto dan pergantiannya dengan BJ Habibie adalah sah dan konstituional. Putusan itu berkekuatan hukum tetap atau “inkracht van gewijsde” karena gugatan para penggugat yang menamakan dirinya “100 Pengacara Reformasi” ditolak oleh PN Jakarta Pusat dan mereka tidak mengajukan banding atas putusan tersebut.
Dari kasus people power terhadap Marcos, Sukarno dan Suharto yang saya uraikan di atas, nyatalah bahwa apa yang dinamakan people power itu beda dengan revolusi. People power pada akhirnya selalu mencari legitimasi konstitusional pergantian rezim berdasarkan aturan-aturan konstitusi yang ketika itu berlaku di negara itu. People power selalu mencari pembenaran atau legitimasi kobstitusi.
Revolusi tidak mencari legitimasi konstitusional berdasarkan norma-norma konstitusi yang ketika itu berlaku. Revolusi justru mengambil alih kekuasaan dengan cara di luar konstitusi. Revolusi yang berhasil menciptakan hukum yang sah dan penguasa baru yang legitimate. Tapi jika gagal, pemimpin revolusi akan didakwa bahkan bisa dihukum mati karena dianggap sebagai pengkhianat. Itu risiko bagi pemimpin revolusioner.
Persoalan Kita Sekarang
Keinginan melakukan people power yang terdengar lantang pasca Pemilu Serentak, khususnya pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) disuarakan oleh beberapa aktivis yang ada diantaranya sudah diproses pidana oleh polisi sebagai tersangka rencana perbuatan makar berdasarkan KUHP dan/atau melakukan ucapan-ucapan yang melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Faktor-faktor yang melatar-belakangi people power seperti terjadi dalam kasus Marcos, Sukarno dan Suharto pada hemat saya nampaknya tidak ada. Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru memerintah kurang dari lima tahun dalam periode pertama jabatannya. Ia secara sah dan konstitusional berhak untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) periode kedua. Walaupun tentu terdapat kekurangan dan kesalahan selama menjalankan pemerintahannya pada periode pertama, namun belum nampak Presiden Jokowi menjalankan kekuasaan secara diktator dan sewenang-wenang sebagaimana yang dianggap dilakukan oleh Marcos, Sukarno dan Suharto. Lantas, kalau demikian, apa urgensinya melakukan people power? Jokowi juga belum nampak melakukan KKN sebagaimana dilakukan oleh Marcos dan Suharto serta keluarga dan kroninya.
Ungkapan keinginan untuk melakukan people power sekarang ini lebih banyak disebabkan oleh anggapan bahwa Pemilu, khususnya Pilpres, berjalan secara curang. Kecurangan itu dianggap dilakukan secara TSM (Terstruktur, Sistematik dan Massif) yang melibatkan aparat negara dan penyelenggara Pemilu untuk memenangkan Pasangan Calon Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan
mengalahkan pasangan lainnya yakni Prabowo Subiyanto-Sandiaga Uno. Dalam kenyataannya, baik perhitungan cepat (Quick Count) maupun perhitungan nyata (Real Count) Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk sementara ini Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memang unggul sekitar 10-11 persen
dari pasangan Prabowo Subijanto-Sandiaga Uno.
Hasil final penghitungan suara yang akan menentukan pasangan mana yang menang, kewenangan itu secara konstitusional ada pada KPU. Tidak ada lembaga apapun dan pihak manapun juga, termasuk pasangan calon, yang berwenang menyatakan pasangan mana yang memenangkan Pilpres ini. Kewenangan itu sepenuhnya ada pada KPU. Mahkamah Konstitusipun hanya berwenang untuk memutuskan sengketa perhitungan suara dalam Pilpres. Setelah MK memutuskan masing-masing pasangan dapat suara berapa, maka tindak-lanjut atas Putusan MK itu harus dituangkan dalam Keputusan KPU. Keputusan KPU itulah yang nantinya dijadikan dasar oleh MPR untuk menyelenggarakan Sidang untuk melantik dan mendengarkan pengucapan sumpah jabatan Presiden sesuai ketentuan UUD 1945. Tanpa Keputusan KPU tentang siapa yang memenangkan Pilpres, MPR tidak dapat mengadakan sidang untuk melantik dan mendengar pengucapan sumpah Presiden. Tanpa melalui semua proses ini, siapapun yang mengaku dirinya atau didaulat oleh sejumlah orang menjadi Presiden RI, maka apa yang dilakukan itu secara hukum tatanegara adalah inkonstitusional, dan secara hukum pidana adalah kejahatan terhadap keamanan negara.
Terhadap penyelenggaraan Pilpres 2019 ini, jika salah satu pasangan calon Presiden dan para pendukungnya berpendapat telah terjadi kecurangan, maka kecurangan itu tidak dapat dinyatakan secara a priori sebagai sebuah kebenaran. Tuduhan kecurangan itu wajib dibuktikan secara fair, jujur dan adil melalui sebuah proses hukum. Pihak yang dibebani untuk membuktikan kecurangan adalah pihak yang menanggap dan/atau menuduh adanya kecurangan itu. Siapa yang menuduh wajib membuktikan. Itu dalil umum dalam hukum acara. Nanti, majelis hakimlah yang berwenang memutuskan apakah kecurangan yang didalilkan dan dibuktikan itu terbukti “secara sah dan meyakinkan” atau tidak berdasarkan alat-alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku. Pengadilan yang dimaksud itu dalam sistem ketatanegaraan kita adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang putusannya dalam sengketa Pilpres adalah bersifat final dan mengikat (final and binding).
Jadi, tidak bisa seseorang menyatakan ada kecurangan secara sepihak dengan menunjukkan alat-alat bukti dan saksi-saksi serta ahli secara sepihak dan menyimpulkan bahwa kecurangan memang ada dan “terbukti”. Lantas dengan anggapan itu, seorang ahli agama diminta untuk mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai dasar untuk mengajak umat Islam melakukan people power. Sementara, kecurangan yang disebutkan baru merupakan sebuah praduga atau anggapan yang wajib dibuktikan di pengadilan.
Bahwa ada anggapan tidak ada gunanya membawa dugaan kecurangan itu ke MK karena pengadilan tidak fair dan memihak kepada Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, maka kewajiban semua pihak di negara ini, bahkan dunia internasional, untuk sama-sama mengawasi MK agar tetap obyektif, adil dan tidak memihak dalam mengadili sengketa Pilpres nanti. Selama ini terlepas dari kekurangan yang ada, MK masih tetap dipercaya sebagai pengadilan yang obyektif dalam mengadili perkara-perkara yang sarat dengan muatan politik. Pihak yang menganggap curang, tentu dapat menghadirkan para advokat handal untuk menghadirkan alat-alat bukti dan argumen yang kokoh dalam persidangan.***

*
Guru Besar Hukum Tata Negara

Load disqus comments

0 comments