Sejatinya kewenangan MK yg diberikan oleh Pasal 24C ayat 1 UUD 45 itu adalah “menguji UU terhadap UUD 45”. Dilihat dari sudut HTN kewenangan MK itu adalah “negative legislation” dalam arti menyatakan sebuah UU bertentangan atau tidak dengan UUD. Sampai di situ tugas MK selesai. Saya yg mewakili Presiden membahas RUU MK di DPR tahun 2003 juga berpandangan demikian. Namun dalam perkembangannya, MK menciptakan begitu banyak “kreasi”, antara lain Putusan tentang UU Ciptaker tahun 2021 itu. MK menyatakan UU tsb bertentangan secara bersyarat dengan UUD 45, tetapi tidak membatalkannya, melainkan memberi waktu kepada pembentuk UU untuk memperbaikinya dalam waktu 2 tahun. Jika waktu tsb lewat tanpa perbaikan, maka UU tsb tidak mengikat secara permanen. Hal2 spt ini menimbulkan persoalan baru bagi pembentuk UU spt terjadi sekarang. Pernah juga MK membatalkan sebuah UU dan menyatakan UU yang telah dicabut oleh Pemerintah dan DPR berlaku kembali. Ada juga MK membatalkan suatu pasal dalam UU, lalu kemudian mengatur sendiri pasal yang dicabut tsb dengan aturan yg baru. Padahal sejatinya membuat aturan yang baru itu kewenangan DPR dan Presiden, bukan kewenangan MK. Pada hemat saya, MK sendiri menciptakan banyak putusan yang kontroversial dilihat dari sdt UUD 45.
Terhadap pertanyaan anda di atas, apakah Presiden bisa dianggap melanggar UUD 45 jika tidak menaati putusan MK, jawabannya bisa menjadi suatu hal yg bisa diperdebatkan secara akademis, apalagi jika putusan MKnya sendiri juga problematik dilihat dari sdt UUD 45. Saya memberikan banyak kritik kepada MK agar lembaga ini tidak menjadi semacam “berhala” baru, yang apabila seseorang atau suatu lembaga tidak menaati putusannya, lantas dianggap melanggar atau tidak patuh pada UUD 45. Agak merepotkan juga jika ada sebuah lembaga yg beranggotakan 9 orang bisa dianggap sebagai manifestasi atau “penjelmaan” UUD 45. Tidak patuh pada mereka itu, dianggap tidak patuh pada UUD 45. Sungguh merepotkan..source : FB https://web.facebook.com/yusril.mahendra.16
0 comments