Oleh Yusril Ihza Mahendra
Dalam beberapa hari terakhir ini ada berbagai pihak, terutama dari kalangan media dan mahasiswa yang menanyakan kepada saya berbagai hal terkait dengan diterbitkannya Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka saya menuliskannya di sini sebagai jawaban, yang secara bebas dapat dikutip dan dishare kepada siapa saja, semoga ada manfaatnya.
Sebagaimana kita maklum, tanggal 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus dan menyatakan bahwa prosedur pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertentangan dengan UUD 45 dan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tetapi MK tidak membatalkan UU tsb, melainkan menyatakannya sebagai konstitusional bersyarat, dengan ketentuan DPR dan Presiden memperbaiki UU tsb.
MK memberi waktu perbaikan tersebut selama dua tahun sampai tanggal 25 November 2023. Jika lewat waktu dua tahun itu, UU Cipta Kerja itu tidak diperbaiki, maka MK akan menyatakan seluruh UU Cipta Kerja itu bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu ada beberapa ketentuan yang ditetapkan MK antara lain, pemerintah tidak boleh membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dari UU Ciptaker sebelum dilakukan perbaikan. Putusan MK kali ini memang lain dari biasanya. Namun mau diperdebatkan bagaimanapun juga, putusan MK itu adalah final dan mengikat. Tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya.
Keadaan di atas memang menyulitkan Pemerintah untuk mengambil langkah kebijakan dan implimentasinya dalam mengatasi masalah bangsa dan negara sebagaimana tercakup dalam UU Cipta Kerja itu. Apalagi jika difahami bahwa secara normatif pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir 20 Oktober 2024. Membahas RUU Perbaikan atas UU Cipta Kerja dengan DPR bisa memakan waktu relatif lama, bahkan bisa lebih setahun, sehingga waktu makin sempit bagi Pemerintah untuk mengatasi berbagai masalah di lapangan.
Karena itu, menerbitkan Perpu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja merupakan pilihan yang diambil Presiden. Tentu bukan pilihan terbaik, apalagi dilihat dari sudut pandang normatif dan akademik, tetapi merupakan pilihan yang paling mungkin mungkin untuk diambil dalam mengatasi keadaan. Ini kalau dilihat dari sudut tanggungjawab pemerintah dalam menyelenggarakan negara.
Terhadap Perpu Perbaikan UU Cipta Kerja itu sendiri, tentu semuanya dikembalikan kepada DPR untuk melakukan “legislative review” apakah akan menerima atau menolaknya untuk disahkan menjadi UU. DPR tidak dapat mengamademen Perpu. Pilihannya hanya menerima atau menolak Perpu tersebut. Jika ditolak, maka Perpu tersebut otomatis tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal DPR memutuskan untuk menolaknya.
Apakah MK berwenang menguji Perpu? Saya berpendapat, MK sebenarnya tidak berwenang menguji Perpu sebelum Perpu itu disahkan menjadi UU. UUD 45 memberikan kewenangan kepada DPR untuk lebih dulu membahasnya dan kemudian memutuskan apakah akan menerima atau menolak Perpu tsb untuk disahkan menjadi UU.
Dalam pandangan saya, MK bertindak prematur jika menguji Perpu sebelum DPR bersikap. Apa yang akan terjadi jika MK lebih dulu menyatakan sebuah Perpu bertentangan dengan UUD 45, sementara DPR sedang membahas Perpu tersebut. Sikap MK tersebut potensial menimbulkan sengketa kewenangan antara MK dengan DPR. Hal semacam itu harus dijauhi MK. Karena jika terjadi sengketa kewenangan antara DPR dengan MK, maka MK adalah satu-satunya yang berwenang mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Apakah MK akan mengadili dirinya sendiri?
Salah satu syarat menjadi hakim MK itu adalah negarawan yang memahami konstitusi. Karena itu, semestinya para hakim MK menahan diri untuk menguji Perpu, sebagaimana selama ini telah dilakukan MK, walau belum ada satupun yang berhasil diputus karena lebih dulu disahkan oleh DPR menjadi UU. Dengan disahkannya Perpu menjadi UU, maka perkara pengujian Perpu menjadi kehilangan obyeknya.
Apakah dengan menerbitkan Perpu untuk melaksanakan Putusan MK yang memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, telah cukup alasan untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden? Kalau dirujuk kepada 7 alasan pemakzulan (pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tidak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden), sebagaimana diatur Pasal 7A dan 7B UUD 45, penerbitan Perpu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja tsb nampaknya masih jauh dari memenuhi kreteria alasan pemakzulan.
Lain halnya jika politik ikut bermain, misalnya DPR menolak pengesahan Perpu tsb dan DPR berpendapat bahwa isi Perpu tersebut melanggar UUD 45, pintu pemakzulan menjadi mungkin. Namun masalahnya tidaklah sesederhana itu. Sebab, dengan amandemen UUD 45, kekuasaan membentuk undang-undang bukan lagi pada Presiden dengan persetujuan DPR, melainkan sudah bergeser menjadi kekuasaan DPR dengan persetujuan Presiden. Maka, untuk melaksanakan Putusan MK yang memerintahkan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun, maka lembaga yang pertama-tama harus memperbaiki UU Cipta Kerja itu sesungguhnya adalah DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Sementara sudah lebih setahun perintah itu diberikan MK, sejak November 2021, tidak terlihat upaya apapun dari DPR untuk mengambil prakarsa memperbaiki UU Cipta Kerja itu. Nah, ketika Presiden mengambil prakarsa menerbitkan Perpu untuk memperbakinya, lantas apakah DPR punya rasa percaya diri untuk menyalahkan Presiden dan berusaha memakzulkannya? Tindakan DPR seperti itu akan menjadi seperti kata dalam peribahasa Melayu: bagai memercik air di dulang, akhirnya terkena muka sendiri…
0 comments