Thursday, January 19, 2023

PERMASALAHAN SEKITAR PERPU NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA

Oleh Yusril Ihza Mahendra

Dalam beberapa hari terakhir ini ada berbagai pihak, terutama dari kalangan media dan mahasiswa yang menanyakan kepada saya berbagai hal terkait dengan diterbitkannya Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka saya menuliskannya di sini sebagai jawaban, yang secara bebas dapat dikutip dan dishare kepada siapa saja, semoga ada manfaatnya.
Sebagaimana kita maklum, tanggal 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus dan menyatakan bahwa prosedur pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertentangan dengan UUD 45 dan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tetapi MK tidak membatalkan UU tsb, melainkan menyatakannya sebagai konstitusional bersyarat, dengan ketentuan DPR dan Presiden memperbaiki UU tsb.
MK memberi waktu perbaikan tersebut selama dua tahun sampai tanggal 25 November 2023. Jika lewat waktu dua tahun itu, UU Cipta Kerja itu tidak diperbaiki, maka MK akan menyatakan seluruh UU Cipta Kerja itu bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu ada beberapa ketentuan yang ditetapkan MK antara lain, pemerintah tidak boleh membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dari UU Ciptaker sebelum dilakukan perbaikan. Putusan MK kali ini memang lain dari biasanya. Namun mau diperdebatkan bagaimanapun juga, putusan MK itu adalah final dan mengikat. Tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya.
Keadaan di atas memang menyulitkan Pemerintah untuk mengambil langkah kebijakan dan implimentasinya dalam mengatasi masalah bangsa dan negara sebagaimana tercakup dalam UU Cipta Kerja itu. Apalagi jika difahami bahwa secara normatif pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir 20 Oktober 2024. Membahas RUU Perbaikan atas UU Cipta Kerja dengan DPR bisa memakan waktu relatif lama, bahkan bisa lebih setahun, sehingga waktu makin sempit bagi Pemerintah untuk mengatasi berbagai masalah di lapangan.
Karena itu, menerbitkan Perpu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja merupakan pilihan yang diambil Presiden. Tentu bukan pilihan terbaik, apalagi dilihat dari sudut pandang normatif dan akademik, tetapi merupakan pilihan yang paling mungkin mungkin untuk diambil dalam mengatasi keadaan. Ini kalau dilihat dari sudut tanggungjawab pemerintah dalam menyelenggarakan negara.
Terhadap Perpu Perbaikan UU Cipta Kerja itu sendiri, tentu semuanya dikembalikan kepada DPR untuk melakukan “legislative review” apakah akan menerima atau menolaknya untuk disahkan menjadi UU. DPR tidak dapat mengamademen Perpu. Pilihannya hanya menerima atau menolak Perpu tersebut. Jika ditolak, maka Perpu tersebut otomatis tidak berlaku lagi terhitung sejak tanggal DPR memutuskan untuk menolaknya.
Apakah MK berwenang menguji Perpu? Saya berpendapat, MK sebenarnya tidak berwenang menguji Perpu sebelum Perpu itu disahkan menjadi UU. UUD 45 memberikan kewenangan kepada DPR untuk lebih dulu membahasnya dan kemudian memutuskan apakah akan menerima atau menolak Perpu tsb untuk disahkan menjadi UU.
Dalam pandangan saya, MK bertindak prematur jika menguji Perpu sebelum DPR bersikap. Apa yang akan terjadi jika MK lebih dulu menyatakan sebuah Perpu bertentangan dengan UUD 45, sementara DPR sedang membahas Perpu tersebut. Sikap MK tersebut potensial menimbulkan sengketa kewenangan antara MK dengan DPR. Hal semacam itu harus dijauhi MK. Karena jika terjadi sengketa kewenangan antara DPR dengan MK, maka MK adalah satu-satunya yang berwenang mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Apakah MK akan mengadili dirinya sendiri?
Salah satu syarat menjadi hakim MK itu adalah negarawan yang memahami konstitusi. Karena itu, semestinya para hakim MK menahan diri untuk menguji Perpu, sebagaimana selama ini telah dilakukan MK, walau belum ada satupun yang berhasil diputus karena lebih dulu disahkan oleh DPR menjadi UU. Dengan disahkannya Perpu menjadi UU, maka perkara pengujian Perpu menjadi kehilangan obyeknya.
Apakah dengan menerbitkan Perpu untuk melaksanakan Putusan MK yang memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, telah cukup alasan untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden? Kalau dirujuk kepada 7 alasan pemakzulan (pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tidak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden), sebagaimana diatur Pasal 7A dan 7B UUD 45, penerbitan Perpu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja tsb nampaknya masih jauh dari memenuhi kreteria alasan pemakzulan.
Lain halnya jika politik ikut bermain, misalnya DPR menolak pengesahan Perpu tsb dan DPR berpendapat bahwa isi Perpu tersebut melanggar UUD 45, pintu pemakzulan menjadi mungkin. Namun masalahnya tidaklah sesederhana itu. Sebab, dengan amandemen UUD 45, kekuasaan membentuk undang-undang bukan lagi pada Presiden dengan persetujuan DPR, melainkan sudah bergeser menjadi kekuasaan DPR dengan persetujuan Presiden. Maka, untuk melaksanakan Putusan MK yang memerintahkan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun, maka lembaga yang pertama-tama harus memperbaiki UU Cipta Kerja itu sesungguhnya adalah DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Sementara sudah lebih setahun perintah itu diberikan MK, sejak November 2021, tidak terlihat upaya apapun dari DPR untuk mengambil prakarsa memperbaiki UU Cipta Kerja itu. Nah, ketika Presiden mengambil prakarsa menerbitkan Perpu untuk memperbakinya, lantas apakah DPR punya rasa percaya diri untuk menyalahkan Presiden dan berusaha memakzulkannya? Tindakan DPR seperti itu akan menjadi seperti kata dalam peribahasa Melayu: bagai memercik air di dulang, akhirnya terkena muka sendiri…
Bandung, 6 Januari 2023


Read more

Kalau Presiden Tidak Mentaati Putusan MK, Apakah Dianggap Melanggar UUD 1945?

Sejatinya kewenangan MK yg diberikan oleh Pasal 24C ayat 1 UUD 45 itu adalah “menguji UU terhadap UUD 45”. Dilihat dari sudut HTN kewenangan MK itu adalah “negative legislation” dalam arti menyatakan sebuah UU bertentangan atau tidak dengan UUD. Sampai di situ tugas MK selesai. Saya yg mewakili Presiden membahas RUU MK di DPR tahun 2003 juga berpandangan demikian. Namun dalam perkembangannya, MK menciptakan begitu banyak “kreasi”, antara lain Putusan tentang UU Ciptaker tahun 2021 itu. MK menyatakan UU tsb bertentangan secara bersyarat dengan UUD 45, tetapi tidak membatalkannya, melainkan memberi waktu kepada pembentuk UU untuk memperbaikinya dalam waktu 2 tahun. Jika waktu tsb lewat tanpa perbaikan, maka UU tsb tidak mengikat secara permanen. Hal2 spt ini menimbulkan persoalan baru bagi pembentuk UU spt terjadi sekarang. Pernah juga MK membatalkan sebuah UU dan menyatakan UU yang telah dicabut oleh Pemerintah dan DPR berlaku kembali. Ada juga MK membatalkan suatu pasal dalam UU, lalu kemudian mengatur sendiri pasal yang dicabut tsb dengan aturan yg baru. Padahal sejatinya membuat aturan yang baru itu kewenangan DPR dan Presiden, bukan kewenangan MK. Pada hemat saya, MK sendiri menciptakan banyak putusan yang kontroversial dilihat dari sdt UUD 45.

Terhadap pertanyaan anda di atas, apakah Presiden bisa dianggap melanggar UUD 45 jika tidak menaati putusan MK, jawabannya bisa menjadi suatu hal yg bisa diperdebatkan secara akademis, apalagi jika putusan MKnya sendiri juga problematik dilihat dari sdt UUD 45. Saya memberikan banyak kritik kepada MK agar lembaga ini tidak menjadi semacam “berhala” baru, yang apabila seseorang atau suatu lembaga tidak menaati putusannya, lantas dianggap melanggar atau tidak patuh pada UUD 45. Agak merepotkan juga jika ada sebuah lembaga yg beranggotakan 9 orang bisa dianggap sebagai manifestasi atau “penjelmaan” UUD 45. Tidak patuh pada mereka itu, dianggap tidak patuh pada UUD 45. Sungguh merepotkan..

source : FB https://web.facebook.com/yusril.mahendra.16

Read more

Tuesday, January 18, 2022

PAN DAN PBB BERTEMU BAHAS KOALISI PARTAI ISLAM HADAPI PEMILU 2024

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza didampingi Sekjen Afriansyah Noor mengadakan pertemuan silaturrahmi dengan Pimpinan PAN di Restoran Hutan Kota Plataran, Senayan Jakarta, Selasa malam 18/1/2022. Pimpinan DPP PAN hadir Ketua Umumnya Zulkifli Hasan, Sekjen Edi Suparno, Bendum Pangeran Khairul Saleh dan tokoh senior PAN Al Hilal Hamdi.

Dalam pertemuan santai dan bersahabat itu, kedua DPP partai tersebut mendiskusikan kerjasama dan peluang membentuk koalisi partai-partai berbasis Islam dalam menghadapi Pemilu 2024. Pertemuan yang sama, menurut Sekjen PBB Afriansyah Noor akan dilakukan dengan PPP dalam beberapa hari mendatang. Dia melihat terbuka peluang yang besar untuk ketiga partai berbasis Islam modernis itu untuk membangun kerjasama lebih erat.



"Bagaimana bentuk kerjasama ketiga partai itu sedang kita bahas dan kita rumuskan bersama". Yang penting, kata Afriansyah tekad untuk bekerjasama itu telah muncul dari pucuk pimpinan ketiga partai. Hal itu, menurutnya merupakan langkah maju partai-partai berbasis Islam untuk membangunan kekuatan bersama sehingga diharapkan kekuatan politik berbasis Islam akan muncul menjadi kekuatan politik yang signifikan di masa depan.
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan merasa optimis kerjasama antara PAN, PPP dan PBB akan terujud mengingat kesamaan orientasi politik ketiga partai ini dan hubungan harmonis para tokoh sentral ketiga partai. Hal senada diakui oleh Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, ketiga Ketum partai ini saling bersahabat dan hubungan mereka sangat baik. "Mudah2an apa yang menjadi keinginan bersama ini dapat terujud". Demikian kata Yusril.
Jakarta, 18 Januari 2022.
Read more

Monday, November 22, 2021

𝐁𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐮 𝐉𝐨𝐤𝐨𝐰𝐢, 𝐘𝐮𝐬𝐫𝐢𝐥 𝐁𝐚𝐡𝐚𝐬 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐈𝐛𝐮 𝐊𝐨𝐭𝐚 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐁𝐚𝐫𝐮⁣

𝐁𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐮 𝐉𝐨𝐤𝐨𝐰𝐢, 𝐘𝐮𝐬𝐫𝐢𝐥 𝐁𝐚𝐡𝐚𝐬 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐈𝐛𝐮 𝐊𝐨𝐭𝐚 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐁𝐚𝐫𝐮⁣

Presiden Joko Widodo bertemu dengan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra di Istana Negara, Senin (22/11/2021) hari ini.⁣
Dalam pertemuan yang juga dihadiri Menteri Sekretaris Negara (Menseneg) Pratikno itu, Jokowi dan Yusril membahas sejumlah isu, salah satunya rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.⁣
Kepada Jokowi, Yusril menyampaikan niatnya untuk membantu presiden mendalami berbagai persoalan hukum terkait IKN yang saat ini rancangan undang-undangnya tengah dibahas di DPR.⁣
Persoalan itu antara lain kepastian hukum mengenai pertanahan di IKN. Yusril berjanji akan mengorganisir peran swasta yang ingin membangun area komersil di IKN.⁣


Terkait hal ini, pembiayaan sepenuhnya akan dilakukan oleh swasta sesuai peruntukan lahan mengikuti masterplan IKN.⁣
"Tanpa pengembangan commercial area, IKN bisa menjadi kota hantu."⁣
Yusril mengatakan, dalam hal ini pihak swasta tak ingin sedikit pun memberatkan dan membebani pemerintah.⁣
Pihak swasta ingn menanam modal dan membayar lahan sesuai ketentuan pemerintah.⁣
Presiden Jokowi pun disebut menyambut baik masukan dan pendapat terkait pembangunan IKN.⁣
Mengenai aspek-aspek hukum, Jokowi menyerahkan detil-detil permasalahannya untuk didiskusikan dengan Menseneg Pratikno dan Menteri PPN/Ketua Bappenas Suharso Manoarfa.⁣
Menurut Yusril, Presiden sangat antusias membahas IKN dan berharap pembangunan IKN dan kepindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur berjalan sesuai rencana.⁣
Sebelumnya, Presiden telah memastikan bahwa proyek pembangunan ibu kota negara baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur akan terus berjalan meski dalam situasi pandemi virus corona.⁣
Meski demikian, pemindahan ibu kota butuh waktu yang tidak sebentar.⁣
"Pengembangan ini akan dilakukan dalam 15 tahun sampai 20 tahun ke depan," ujarnya.⁣
Read more

Wednesday, October 20, 2021

𝐏𝐄𝐑𝐒𝐎𝐀𝐋𝐀𝐍 𝐉𝐀𝐋𝐀𝐍 𝐊𝐄𝐌𝐀𝐋 𝐀𝐓𝐓𝐀𝐓𝐔𝐑𝐊⁣

Persoalan nama Jalan Kemal Attaturk kini mencuat ke permukaan dan menimbulkan polemik pro dan kontra. Usut punya usut ternyata, persoalan ini timbul sebagai akibat dari permintaan Pemerintah RI agar nama jalan di dekat KBRI Ankara diganti dengan nama Jalan Sukarno, Proklamator dan Presiden RI. ⁣

Permintaan itu dikabulkan Pemerintah Turki. Sebagai balasannya, Pemerintah Turki juga meminta hal yang sama. Agar ada jalan namanya Kemal Attaturk, tidak jauh-jauh dari Kedutaan Turki di Jalan Rasuna Said, Jakarta.⁣
Mustafa Kemal Pasya atau Kemal Attaturk adalah tokoh kontroversial. Bukan saja di Turki pada zamannya, tetapi juga di Indonesia dan banyak negeri Muslim yang lain. Kemal adalah pemimpin militer Turki yang mengambil alih kekuasaan kekhalifahan di negaranya dan membubarkannya. Dia membentuk sebuah Republik bercorak sekuler. Kekhalifahan Turki yang berdiri sejak zaman Osmaniyah dan dianggap simbol pemerintahan Islam dia bubarkan. Kemal “memisahkan” antara agama (Islam) dengan negara.⁣
Ketika Kemal mengambil alih kekuasaan, Kekhalifahan Turki memang sedang redup. Turki yang bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I mengalami kekalahan. Turki yang mulai lemah baik dari segi militer maupun ekonomi dipaksa mengikuti kehendak Inggris dan sekutunya. Sementara Khalifah Turki tetap hidup glamor dan bermewah-mewah dalam suasana negara sedang terpuruk. Pembangunan Istana super mewah Tohkapi di Istambul, dilakukan di zaman Turki sedang terpuruk itu. Istana itu tak sempat dihuni oleh Sultan Turki teakhir Mehmet VI karena keburu dikudeta Attaturk tahun 1924.⁣



Kehidupan Sultan dan bangsawan Turki menuai kritik di dunia Islam sendiri karena dianggap jauh dari nilai-nilai Islam. Mohammad Natsir dalam polemiknya dengan Sukarno tentang “persatuan agama dengan negara” menjelang kita merdeka mengatakan, dalam suasana seperti itu tidak perlu lagi “agama dipisahkan dengan negara” seperti diinginkan Sukarno, sebab dalam kenyataannya Islam sudah lama “dipisahkan” dengan negara seperti ditunjukkan oleh prilaku penguasa Kekhalifahan Turki itu.⁣
Implikasi politik dari apa yang terjadi di Turki zaman itu gaungnya terasa di negeri kita. Kelompok “Nasionalis sekular” merasa senang dengan kehadiran Attaturk. Sebaliknya para tokoh “Nasionalis Islam” berada dalam kecemasan. Tahun-tahun 1920an itu di negara kita sedang terjadi polemik ideologis yang luas tentang Islam dan Nasionalisme dan masalah hubungan “agama” dengan “negara”. ⁣
Polemik antara Sukarno dan Mohammad Natsir seperti telah saya singgung di atas, tentang hubungan agama pada dekade terakhir kolonialisme Belanda di negeri kita, dilatar-belakangi oleh kebangkitan nasionalisme dan sekularisme di Turki. Perdebatan dalam sidang BPUPKI ketika merumuskan “de filosofische grondslag” (dasar falsafah negara) yang berujung kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta, juga bertalian dengan hubungan antara Islam dengan negara pada sebuah negara modern.⁣
Karena itu, kalau sekarang ini masih ada rasa ketidaksukaan sebagian masyarakat kita terhadap Kemal Attaturk, hal itu memang wajar. Sebab, ketegangan pemikiran antara Islam dan Sekularisme dengan berbagai variannya, mulai dari yang moderat dan menerima Pancasila sampai yang ingin mendirikan kembali “negara khilafah” hingga kini tetap berlangsung di negeri kita. Walau intensitasnya, tebtu tidak sekeras menjelang kemerdekaan tahun 1945, menjelang Pemilu 1955 dan sidang Konstituante 1957 serta di masa awal Orde Baru tahun 1967. ⁣
𝐏𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐭𝐢𝐧𝐠⁣
Karena Pemerintah kita yang lebih dulu meminta Pemerintah Turki mengganti nama sebuah jalan yang “berbau” Belanda dengan nama Jalan Sukarno, maka wajar saja jika secara resiprokal, Turki meminta hal yang sama. Orang Turki nampaknya tidak mempersoalkan pergantian nama jalan dengan nama Jalan Sukarno. ⁣
Tetapi di negeri kita, nama Jalan Attaturk yang diminta Pemerintah Turki itu membuat pusing banyak orang. Bahkan kini berkembang banyak rumors Pemerintah akan memberi nama banyak jalan dengan nama tokoh-tokoh kiri dan Komunis: Jalan Stalin, Kruschev, Jalan Mao Zedong, Jalan Ho Chi Minh dan entah jalan siapa lagi tokoh-tokoh Komunis yang pernah ada di dunia ini.⁣
Sementara usul mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin yang sudah diusulkan DPRD DKI ke Gubernur, belum juga dilaksanakan. Usul tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) agar Jalan Kramat Raya diganti namanya dengan Jalan Mohammad Natsir, sampai sekarang nampaknya belum digugris oleh Gubernur Anis Baswedan.⁣
Di negara kita, urusan nama jalan adalah urusan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat hanya dapat mengusulkan kepada Pemda untuk memberi nama atau mengubah nama jalan yang sudah ada. Gubernur Anis Baswedan yang mendapat dukungan umat Islam melawan Ahok dan AHY dalam Pilkada DKI mestinya tidak ada keberatan apapun dan tidak berlama-lama mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin. Jalan Kramat Raya dengan Jalan Mohammad Natsir. Jalan Matraman Raya dengan Jalan Kasman Singodimedjo. Jalan Warung Buncit dengan Jalan AH Nasution.⁣
Dari pengalaman permintaan resiprokal Pemerintah Turki, entah apakah itu pemerintahan Presiden Edrogan — yang sepanjang pemahaman saya lebih cenderung ke Islam yang beda dengan Sekukarisme Attaturk— ataukah hanya permintaan Kedubes Turki di Jakarta, saya tidak tahu. Ke depan sebaiknya kita tidak usah lagi minta negara lain memberi nama jalan dengan tokoh-tokoh bangsa kita. Sebab, jika mereka juga minta nama tokoh mereka dijadikan nama jalan di Jakarta, kita bisa pusing sendiri.⁣
Di masa lalu, kita pernah dengan inisiatif sendiri memberi nama jalan dengan tokoh negara lain. Ambil contoh Jalan Patrice Lumumba misalnya yang terletak antara Jalan Gunung Sahari dengan Bandara Kemayoran zaman dulu. Lumumba adalah pemimpin Republik Congo di Afrika. Dia dikudeta dan oleh lawan-lawannya dan dituduh Komunis. ⁣
Di zaman Orba yang anti Komunis, nama Jalan Patrice Lumumba diganti dengan Jalan Angkasa sampai sekarang. Nama Angkasa terkait dengan bandara, walau Bandara Kemayoran sudah sejak 1984 pindah ke Cengkareng. Kita tidak merasa berat menggantinya karena nama Jalan Patrice Lumumba karena kita berikan sendiri, bukan atas permintaan Pemerintah Congo.⁣
Dilema Nama Jalan⁣
Saya kira memberi nama jalan dengan nama tokoh atau pahlawan memang akan selalu berhadapan dengan dilema. Seseorang menjadi pahlawan atau menjadi pengkhianat, disukai atau dibenci, sangat tergantung kepada situasi politik pada suatu zaman. Andai ada nama Jalan DN Aidit pada zaman Orde Lama, hampir dapat dipastikan nama jalan itu akan diganti di zaman Orde Baru. ⁣
Mohammad Natsir adalah “pemberontak PRRI” di zaman Orla dan Orba. Di zaman Orref (Orde Reformasi) beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Persepsi masyarakat selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Begitulah sejarah manusia…⁣
Bandung, 21 Oktober 2021.
Read more

Wednesday, April 1, 2020

BISAKAH PSBB MENGHADAPI VIRUS CORONA?

Oleh Yusril Ihza Mahendra

Presiden Jokowi melalui Keppres No 11/2020 tgl 31 Maret 2020 telah memutuskan adanya Darurat Kesehatan yang berlaku seluruh Indonesia sehubungan dengan merebaknya wabah virus corona atau Covid-19. 

Keputusan di atas diambil hampir 1 bulan setelah Presiden Jokowi mengumkan adanya 2 (dua) pasien Corona pertama di negara kita pada tgl 2 Maret yang lalu. Dalam sebulan, ketika Darurat Kesehatan diumumkan, jumlah pasien postif Corona telah meningkat drastis dari 2 (dua) orang menjadi 1.528 orang. Yang meninggal 122 orang dan yang sembuh 75 orang. 

Di samping itu ada ribuan orang dalam status pengawasan dan sebagaian berstatus sebagai terduga terinfeksi virus Corona yang sedang menunggu kepastian hasil test laboratorium kesehatan. Jumlah mereka makin hari makin meningkat.

Pernyataan Darurat Kesehatan yang nampak sudah terlambat ini disusuli dengan terbitnya PP No 21/2020 yang mengatur pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal dan hari yang sama. PP ini berisi pelaksanaan sebagian isi UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, khusus mengenai PSBB saja, tidak mengenai materi yang lain.

Dengan PP PSBB ini Pemerintah Daerah, Pemkab, Pemkot dan Pemprov dengan persetujuan Menteri Kesehatan dapat memutuskan daerahnya menerapkan PSBB. Dengan pemberlakuan PSBB itu maka daerah berwenang melakukan “pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu”.  

Pelaksanan PSBB tentu tidak mudah bagi suatu darerah. Daerah2 mana saja yang orang dan barang tidak boleh masuk ke daerahnya? Sebab suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya. 

Apakah untuk effektifitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu dapat Pemda setempat dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI misalnya, hal itu tidak diatur dalam PP No 21 Tahun 2020 ini. UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan juga tidak memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuknya orang di daerah yang memberlakukan PSBB. Pemda paling hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang memang berada di bawah Pemda.

Polisi baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, jika Pemerintah Pusat memutuskan untuk melaksanakan “Karantina Wilayah” sebagaimana diatur  Pasal 54 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018. Karantina Wilayah hampir sama dengan “lockdown” yang dikenal di negara-negara lain seperti Malaysia dan Philipina. Suatu daerah atau suatu kota dinyatakan tertutup, orang tidak diizinkan keluar atau masuk ke daerah atau kota itu. 

Pemerintah memang tidak memilih menerapkan Karantina Wilayah karena mungkin kuatir dengan masalah ekonomi. Pemerintah juga mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah yang diterapkan Karantina Wilayah.  

Kewajiban menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, katakanlah sembako, listrik dan air bersih di daerah yang dikenakan karantina wilayah itu sepenuhnya “menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”, bukan tanggung jawab Pemda. 

Bayangkan jika Jakarta saja dikenakan Karantina Wilayah maka Pemerintah Pusat harus menyediakan sembako buat sekitar 14 juta orang entah untuk berapa lama. Bisa-bisa kita seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang-kabut dan akhirnya kelaparan. 

Di Manila juga sempat terjadi berbagai kejahatan perampokan karena rakyat miskin kehabisan bahan makanan.  Tentara Philipina akhirnya mendrop sembako ke rumah2 penduduk miskin kota.

Ketentuan selanjutnya terkait PSBB ini, PP 21 Tahun 2020 ini hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU No 6 Tahun 2020. PSBB dilaksanakan “paling sedikit” dalam bentuk (a) peliburan sekolah dan tempat kerja (b) pembatasan kegiatan keagamaan (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. 

Ketiga hal yang dicakup PSBB ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh daerah baik ada maupun tidak ada PSBB. Namun apa yang sudah dilaksanakan itu tokh tidak mampu membatasi penyebaran virus Corona. Menjelang akhir bulan Maret, tinggal dua provinsi yang belum ada pasien positif Corona yakni Bengkulu dan Bangka-Belitung. Pas tanggal 31 Maret dua provinsi itu ternyata tak mampu bertahan menghadapi wabah yang ganas ini.

Hari ini 1 April 2020 nampaknya belum ada Keputusan Menkes atau Ketua Gugus Tugas Percepatan Penangangan Corona Virus yang menyetujui permintaan daerah tertentu untuk daerahnya dinyatakan diberlakukan PSBB. Daerah2 itu sebagiannya malah sudah bertindak lebih jauh dari apa yang mungkin dapat dilakukan dengan sekedar tiga hal dalam PSBB seperti di atas.

Pertanyaannya kini adalah, apakah dengan kebijakan PSBB yang harus diminta oleh daerah dan disetujui atau bisa juga ditolak oleh Menkes itu, penyebaran wabah virus corona dapat dikurangi atau dihentikan samasekali? Jawabannya tentu: wallahu ‘alam, hanya Allah Ta’ala saja yang lebih mengetahuinya.

Apabila dalam dua minggu atau dalam sebulan ke depan PSBB ternyata tidak efektif, apa Pemerintah lantas mau mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya dengan tingkatan Darurat Sipil sebagaimana di atur dalam Perpu No 23 Tahun 1959? Saya kira inipun tidak akan menyelesaikan masalah. 

Jika keadaan makin memburuk dugaan saya Pemerintah tidak akan punya pilihan lain kecuali menerapkan Karantina Wilayah, sebuah konsep yang mendekati konsep “lockdown” yang dikenal di beberapa negara, dengan segala risiko ekonomi, sosial dan politiknya. 

Karena itu selama masa penerapan PSBB ini, saya sarankan agar Pemerintah mulai bersiap-siap menghadapi risiko terburuk kalau akhirnya tidak punya pilihan lain menghadapi wabah virus Corona, kecuali memilih menerapkan Karantina Wilayah, jika pandemi ini ternyata tidak mampu dihadapi dengan PSBB.*****

Jakarta 1 April 2020.
Read more