Presiden Jokowi melalui Keppres No 11/2020 tgl 31 Maret 2020 telah memutuskan adanya Darurat Kesehatan yang berlaku seluruh Indonesia sehubungan dengan merebaknya wabah virus corona atau Covid-19.
Keputusan di atas diambil hampir 1 bulan setelah Presiden Jokowi mengumkan adanya 2 (dua) pasien Corona pertama di negara kita pada tgl 2 Maret yang lalu. Dalam sebulan, ketika Darurat Kesehatan diumumkan, jumlah pasien postif Corona telah meningkat drastis dari 2 (dua) orang menjadi 1.528 orang. Yang meninggal 122 orang dan yang sembuh 75 orang.
Di samping itu ada ribuan orang dalam status pengawasan dan sebagaian berstatus sebagai terduga terinfeksi virus Corona yang sedang menunggu kepastian hasil test laboratorium kesehatan. Jumlah mereka makin hari makin meningkat.
Pernyataan Darurat Kesehatan yang nampak sudah terlambat ini disusuli dengan terbitnya PP No 21/2020 yang mengatur pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal dan hari yang sama. PP ini berisi pelaksanaan sebagian isi UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, khusus mengenai PSBB saja, tidak mengenai materi yang lain.
Dengan PP PSBB ini Pemerintah Daerah, Pemkab, Pemkot dan Pemprov dengan persetujuan Menteri Kesehatan dapat memutuskan daerahnya menerapkan PSBB. Dengan pemberlakuan PSBB itu maka daerah berwenang melakukan “pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu”.
Pelaksanan PSBB tentu tidak mudah bagi suatu darerah. Daerah2 mana saja yang orang dan barang tidak boleh masuk ke daerahnya? Sebab suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya.
Apakah untuk effektifitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu dapat Pemda setempat dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI misalnya, hal itu tidak diatur dalam PP No 21 Tahun 2020 ini. UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan juga tidak memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuknya orang di daerah yang memberlakukan PSBB. Pemda paling hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang memang berada di bawah Pemda.
Polisi baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, jika Pemerintah Pusat memutuskan untuk melaksanakan “Karantina Wilayah” sebagaimana diatur Pasal 54 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018. Karantina Wilayah hampir sama dengan “lockdown” yang dikenal di negara-negara lain seperti Malaysia dan Philipina. Suatu daerah atau suatu kota dinyatakan tertutup, orang tidak diizinkan keluar atau masuk ke daerah atau kota itu.
Pemerintah memang tidak memilih menerapkan Karantina Wilayah karena mungkin kuatir dengan masalah ekonomi. Pemerintah juga mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah yang diterapkan Karantina Wilayah.
Kewajiban menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, katakanlah sembako, listrik dan air bersih di daerah yang dikenakan karantina wilayah itu sepenuhnya “menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”, bukan tanggung jawab Pemda.
Bayangkan jika Jakarta saja dikenakan Karantina Wilayah maka Pemerintah Pusat harus menyediakan sembako buat sekitar 14 juta orang entah untuk berapa lama. Bisa-bisa kita seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang-kabut dan akhirnya kelaparan.
Di Manila juga sempat terjadi berbagai kejahatan perampokan karena rakyat miskin kehabisan bahan makanan. Tentara Philipina akhirnya mendrop sembako ke rumah2 penduduk miskin kota.
Ketentuan selanjutnya terkait PSBB ini, PP 21 Tahun 2020 ini hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU No 6 Tahun 2020. PSBB dilaksanakan “paling sedikit” dalam bentuk (a) peliburan sekolah dan tempat kerja (b) pembatasan kegiatan keagamaan (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Ketiga hal yang dicakup PSBB ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh daerah baik ada maupun tidak ada PSBB. Namun apa yang sudah dilaksanakan itu tokh tidak mampu membatasi penyebaran virus Corona. Menjelang akhir bulan Maret, tinggal dua provinsi yang belum ada pasien positif Corona yakni Bengkulu dan Bangka-Belitung. Pas tanggal 31 Maret dua provinsi itu ternyata tak mampu bertahan menghadapi wabah yang ganas ini.
Hari ini 1 April 2020 nampaknya belum ada Keputusan Menkes atau Ketua Gugus Tugas Percepatan Penangangan Corona Virus yang menyetujui permintaan daerah tertentu untuk daerahnya dinyatakan diberlakukan PSBB. Daerah2 itu sebagiannya malah sudah bertindak lebih jauh dari apa yang mungkin dapat dilakukan dengan sekedar tiga hal dalam PSBB seperti di atas.
Pertanyaannya kini adalah, apakah dengan kebijakan PSBB yang harus diminta oleh daerah dan disetujui atau bisa juga ditolak oleh Menkes itu, penyebaran wabah virus corona dapat dikurangi atau dihentikan samasekali? Jawabannya tentu: wallahu ‘alam, hanya Allah Ta’ala saja yang lebih mengetahuinya.
Apabila dalam dua minggu atau dalam sebulan ke depan PSBB ternyata tidak efektif, apa Pemerintah lantas mau mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya dengan tingkatan Darurat Sipil sebagaimana di atur dalam Perpu No 23 Tahun 1959? Saya kira inipun tidak akan menyelesaikan masalah.
Jika keadaan makin memburuk dugaan saya Pemerintah tidak akan punya pilihan lain kecuali menerapkan Karantina Wilayah, sebuah konsep yang mendekati konsep “lockdown” yang dikenal di beberapa negara, dengan segala risiko ekonomi, sosial dan politiknya.
Karena itu selama masa penerapan PSBB ini, saya sarankan agar Pemerintah mulai bersiap-siap menghadapi risiko terburuk kalau akhirnya tidak punya pilihan lain menghadapi wabah virus Corona, kecuali memilih menerapkan Karantina Wilayah, jika pandemi ini ternyata tidak mampu dihadapi dengan PSBB.*****
Jakarta 1 April 2020.
0 comments