Saturday, July 19, 1997

"Jabatan Ketua DPR Hanya Simbolik " (1997)

SIAPA gerangan yang akan mengisi kursi Ketua DPR/MPR sempat menjadi tanda-tanya. Apalagi belakangan Kasospol Letjen Syarwan Hamid sengaja disusupkan masuk ke Senayan. Bisik-bisik menyebut: jangan-jangan Syarwan diplot untuk menggantikan posisi Harmoko. Tapi dugaan ini akhirnya dibantah Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Pak Moer bilang bahwa menurut logika politik, Harmoko-lah yang akan menggantikan Wahono menjadi Ketua DPR/MPR. Pangab Jenderal Feisal Tanjung menguatkan pernyataan Moerdiono.

Tapi, apa pentingnya posisi Ketua DPR/MPR? Menurut pakar hukum tata negara UI, Dr.Yusril Ihza Mahendra, jabatan itu sesungguhnya hanya simbolis, dan hanya untuk menyenangkan partai yang menang. "Dia juga bukan panglima-nya anggota DPR," kata Yusril. Lalu, mengapa para pimpinan partai, terutama yang memenangkan pemilu, enggan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden? Perlukah kursi Ketua DPR dan MPR dipisahkan, sehingga pemilihannya pun juga berbeda? Itulah seabreg persoalan penting yang masih bergelayut di pentas politik kita.

Untuk mencari jawaban dan solusinya, maka TEMPO Interaktif mewawancarai Dr. Yusril Ihza Mahendra, via telepon, Sabtu, 19 Juli 1997. Petikannya :
Calon Ketua DPR mendatang dari ABRI atau Golkar?  
Tampaknya dari Golkar.

Bagaimana peluang dari partai lain ?
Itu tergantung kepada anggota DPR dan hasil kesepakatan. Memang, ketua DPR tidak harus dari partai besar, tapi logisnya memang dari yang besar. Itu pun tergantung dari konsensus di kalangan anggota. Sebab, peraturan yang mengatur hal itu belum ada.

Menteri Moerdiono bilang bahwa menurut logika politik, partai yang menang menjadi ketua. Bagaimana ini ?
Dalam tradisi politik kita belakangan ini, memang begitu. Kalau dalam logika politik, lazimnya ketua partai terbesar atau yang menang, menjadi presiden atau perdana menteri. Tapi di negara kita tidak demikian. Jadi logikanya, Golkar-lah yang akan menduduki kursi ketua nanti.

Sebaiknya Ketua DPR dipilih oleh fraksi atau anggota yang jumlahnya 425 orang ?
Lebih baik diajukan oleh fraksi, baru dipilih oleh anggota. Seperti pemilihan ketua di tahun 1955. Nama-nama calon ketua komisi, misalnya, kan sudah menjadi jatah fraksi-fraksi dan umumnya bisa diterima tanpa perdebatan. Begitupula nama wakil ketua. Selama ini diajukan oleh fraksi dan umumnya fraksi lain bisa menerima.

Menilik pernyataan Menteri Moerdiono dan Pangab Feisal Tanjung, agaknya Harmoko yang akan jadi Ketua DPR. Benarkah?
Nggak, mereka hanya memperkirakan saja, seperti seorang pengamat dari luar. Tapi, ketua DPR nanti dipastikan dari Golkar. Untuk Pak Syarwan, memang sudah diplot oleh ABRI untuk menjadi wakil ketua.

Apakah para anggota DPR akan terpengaruh dengan ucapan Menteri Moerdino dan Pangab untuk memilih Harmoko sebagai ketua ?
Sebenarnya tidak. Itu hanya pendapat saja dan bukan merupakan suatu keputusan.

PPP menang di berbagai daerah, tapi ketua DPRD-nya dari militer. Apakah ini menyalahi "logika politik" itu ?
Makanya dari dulu saya sudah mengusulan untuk daerah-daerah dimana PPP menang, ketua DPRD-nya orang PPP. Nah, ini kacaunya.

Anda bilang, sebaiknya DPR dan MPR dipisah ketuanya. Apa untung dan ruginya jika lembaga itu dipisah ?
Saya bicara itu bukan karena masalah untung-ruginya. Saya berpendapat, kedua lembaga itu berbeda dan sebaiknya dipilih oleh orang yang berbeda pula. Sebab, DPR dan MPR itu tidak sama, masa dijabat oleh orang yang sama.
Saya berpendapat untuk anggota MPR yang diangkat, sebaiknya jumlahnya sedikit saja. Soal demokratis atau tidak, lihat cara mereka bekerja dan dalam mengambil keputusan. Dulu, pada jaman Soekarno, semua anggota MPR-nya diangkat tapi malah menjatuhkan Soekarno. Apakah itu mencerminkan cara yang demokratis? Meski diangkat, kalau semua orangnya "yes man", juga nggak baik.
Masalahnya, MPR hanya bersidang satu kali saja. Seharusnya, dua kali dalam lima tahun dan badan pekerjanya diaktifkan. Kalau cara ini dilakukan, fungsi MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat akan lebih nyata.

Total anggota MPR 1000 orang. Dari jumlah itu, 425 orang dari DPR yang dipilih melalui pemilu, dan 60 persen sisanya diangkat. Anda setuju dengan komposisi ini?
Tidak begitu cara melihatnya. Anggota MPR itu kan juga berdasarkan calon-calon legislatif yang tidak masuk DPR dan juga berdasarkan perimbangan. Tidak banyak bedanya antara mereka yang dipilih dalam pemilu dengan yang tidak dipilih. Kalau melihatnya demikian, maka perimbangannya bukan 40-60 persen.
Berbeda dengan anggota MPR yang berasal dari utusan daerah dan golongan. Itu juga nggak sederhana pemilihannya, karena dipilih oleh DPRD masing-masing daerah. Sementara utusan golongan menyebar kemana-mana, tidak hanya di Golkar.

Apa pentingnya jika ketua DPR bukan dari militer ?
Ketua DPR itu tidak begitu penting menurut saya. Itu hanya kedudukan seremonial saja. Dia tidak bisa mengambil keputusan dan bersikap apa-apa dalam arti politik. Karena keputusan yang diambil adalah keputusan DPR, bukan ketua DPR. Ketua DPR hanya membuka dan menutup sidang saja. Kalau dia tidak setuju, sedangkan anggota yang lain setuju, dia harus ikut suara mayoritas.
Nah, anehnya pada ketua sekarang, Wahono, sering mengeluarkan pernyataan politik. Menurut saya itu tidak bisa dilakukan. Kalau atas nama pribadi nggak masalah, tapi kalau kapasitasnya sebagai ketua, itu nggak bisa. Jika ada anggota DPR yang dipanggil ketua DPR dan tidak datang, itu tidak apa-apa. Beda dengan menteri, jika ia memanggil, dirjennya, ia langsung datang.
Ketua DPR bukan "panglimanya" anggota DPR. Jadi nggak penting jabatan itu. Sekali lagi saya katakan, bahwa jabatan ketua DPR itu simbolik saja. Itu masalah kesenangan saja. Misalnya, Golkar yang menang lalu ketua DPR-nya dari Golkar, orang Golkar kan senang. Tapi nggak ada keuntungan apa-apa. Sama saja kalau ada menteri kehutanan orang Batak, apakah orang Batak yang lain akan mendapat keuntungan, kan nggak.
Anggota DPR kan dipilih oleh rakyat. Nah, ketuanya tidak mencerminkan apa-apa. Apakah kita mau seperti pada tahun 1955, ketika Hartono dari PNI yang jadi ketua DPR. Saat itu, ia tidak mau menyetujui keputusan anggota DPR. Itu kan aneh namanya.

Oke, tapi jika yang terpilih sebagai Ketua DPR Syarwan atau Harmoko, bukankah akan menggolkan Pak Harto?
Nggak tahu saya. Kalau Pak Syarwan, menurut saya pantas untuk duduk sebagai wakil ketua. Dengan begitu, praktis ia akan menjadi ketua fraksi ABRI. Dengan begitu, ia bisa mengarahkan suara ABRI.

Apakah Anda melihat posisi Syarwan dan Harmoko di DPR ada kaitannya dengan calon wapres nanti ?
Wah, saya nggak tahu kalau itu. Walau pun salah satu nanti dari nama itu menjadi ketua, ia juga nggak bisa apa-apa, karena yang menentukan adalah anggota. Seperti ketika Amirmacmud menjadi ketua, dan memanggil Husein Naro, tapi malah ditolak oleh Husein. Saat itu Husein katakan, "mau apa dia, memangnya dia bos gue". Walaupun yang dikatakan Husein ngawur, tapi dia benar. Dan dia nggak mau menghadap Amir Machmud.

Biasanya Pangab mendukung calon Ketua DPR dari ABRI, tapi mengapa kali ini malah mendukung calon dari Golkar?
ABRI dengan Golkar kan nggak ada bedanya. Mereka kan satu grup.

Menurut Anda, apakah sosok Syarwan dan Harmoko tepat untuk duduk sebagai Ketua DPR?
Sulit juga kalau harus menilai orang. Biar saja mereka jadi ketua dulu, baru kita nilai nantinya.

Antara dua nama itu, siapa yang paling cocok ?
Kalau masalah cocok nggak cocok, kita lihat saja. Tapi, saya kira untuk Pak Syarwan asalkan bisa menempatkan posisi yang cocok, bisa saja. Kalau seperti Amir Macmud, kita agak repot dibuatnya. Karena dia menganggap DPR sama dengan departemen. Akibatnya jadi kacau.

Kalau di negara lain, ketua partai yang menang pasti mencalonkan diri jadi presiden atau perdana menteri. Tapi mengapa di sini hanya merebut kursi Ketua DPR ?
Saya juga nggak tahu, mengapa bisa seperti sekarang. Tapi itulah tradisi politik yang berkembang di negara kita.

Apakah ada semacam rasa tabu jika ketua partai yang menang mencalonkan diri sebagai presiden?
Nggak juga. Kita dulu pernah punya perdana menteri dari partai-partai yang menang. Kalau dalam sistem presidensial, memang presiden dicalonkan partai yang menang.

Tapi dari partai yang menang sekali pun, mengapa tidak ada yang berani mencalonkan diri?
Nggak tahu saya, tapi itulah tradisi politik kita. Karena orang menganggap itu bukan masalah yang besar dan bisa diterima dalam praktek. Umumnya di negara lain, partai yang menang mencalonkan diri jadi perdana menteri atau presiden. Sementara di sini peranan partai-partai jauh dari ideal.

Apakah ini pertanda peranan partai masih dalam pengaruh "kekuasaan" ?
Ya.

Sumber: Tempo Interaktif

Load disqus comments

0 comments