Wednesday, April 12, 2000

Yusril: Komunisme tidak akan Pernah Mati (Perselisihan dengan Gus Dur)

(Wawancara dengan Tempo, 12 April 2000)
 "Komunisme Sebagai Suatu Ideologi Politik tidak akan Pernah Mati" 

Prof DR Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan Perundang-undangan, adalah salah seorang yang menentang keras gagasan pencabutan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1996 tentang pembubaran, pelarangan PKI, dan larangan terhadap setiap kegiatan untuk menjabarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme di Indonesia. "Saya melihat bahwa dasar-dasar bagi falsafah negara Indonesia itu, menurut tafsir saya, tidak bisa menerima komunisme," kata Yusril kepada TEMPO Interaktif, memberi alasan.

Yusril lahir di Belitung, Sumatera Selatan, 5 Februari 1956. Setelah menyelesaikan SMA Perguruan Islam Belitung tahun 1975, ia melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Sementara itu, pada waktu yang bersamaan ia juga kuliah di Jurusan Filsafat UI. Kemudian, ke dua bidang pendidikan yang ditekuninya itu diselesaikan pada tahun 1976. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan ke Pasca Sarjana UI. Gelar doktor diperoleh dari Universitas Sains Malaysia dalam bidang perbandingan politik.

Dulu, Yusril lebih dikenal sebagai ahli Hukum Tata Negara. Ia memperoleh predikat Guru Besar Hukum Tata Negara dari UI pada usia yang relatif muda, 42 tahun. Tetapi ketika reformasi bergulir, Yusril yang ketika kuliah di UI dekat dengan tokoh Masyumi M Natsir ini, terjun bebas ke dunia politik, dan menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) -- jabatan yang hingga sekarang masing dilakoninya selain menjadi menteri. Dan pada Sidang Umum MPR 1999 lalu, tokoh yang
dekat sempat menjadi salah satu calon Presiden. Tetapi terakhir, ayah empat anak ini mundur, dan melempangkan jalan bagi Gus Dur untuk naik ke pucuk pimpinan negara ini.

Berikut wawancara Kurie Suditomo dari TEMPO Interaktif dengan Yusril di kantornya, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Rabu 12 April 2000. Petikannya: 

Apakah ketidaksetujuan Anda terhadap pencabutan TAP XXV/MPRS/1966 itu hanya karena masyarakat Indonesia masih belum siap, sehingga bisa menimbulkan akibat sosial tertentu?

Bukan itu alasannya. Argumen saya adalah lebih besar, yaitu dalam kehidupan bernegara. Karena niat kita adalah membangun sebuah negara yang demokratis. Di dalam negara yang demokratis, semua
golongan boleh hidup. Yang tidak boleh hidup adalah golongan yang anti demokratis. Itu dasarnya.

Bila memang semua golongan bisa hidup, mengapa harus mengecualikan satu golongan yang anti ini. Bukankah di Amerika partai Komunis pun ada?

Nah itu baru argumen yang kedua tadi. Karena memang tingkat sosial ekonomi mereka (Amerika) tinggi sekali. Kalau kemudian Anda mengatakan, bila komunis kemudian menjadi lebih demokratis, berarti sudah bukan komunis lagi !

Jadi ketidaksetujuan Anda bukan hanya sementara?

Butuh waktu. Saya nggak tahu kapan tingkat sosial ekonomi Indonesia bisa menyerupai Amerika sekarang. Saya harus bicara yang konkrit saja. Yang konkrit, ya kita tetap menganut dasarnya. Kita tidak bisa begitu saja menyamakan Indonesia dengan Amerika Serikat. Di Amerika itu tidak pernah orang komunis itu memberontak.

Sebenarnya apa sih yang perlu ditakutkan lagi, bukankah komunisme sudah mati?

Takut? Tidak, saya tidak takut. Saya bukannya tidak setuju karena saya pernah punya pengalaman dengan komunisme. Saya tidak pernah punya pengalaman dengan zionisme, tapi saya menolak zionisme karena saya melakukan studinya. Seseorang kan tidak usah memiliki pengalaman empiris untuk menolak sesuatu.

Jadi apa lagi alasan anda untuk tidak menginginkan Tap XXV/MPRS/1966 itu dicabut?

Saya melihat bahwa dasar-dasar bagi falsafah negara Indonesia itu, menurut tafsir saya, tidak bisa menerima komunisme. Ini teori filsafat tata negara, kalau membangun suatu negara itu ada suatu
start idea, ada dasarnya, dasar-dasar pemikiran tentang bernegara. Dan itu melalui suatu perdebatan panjang, kemudian dituangkan dalam suatu Undang Undang Dasar kita itu, lebih-lebih mulanya dituangkan dalam Piagam Jakarta, yang sudah ada sebelum lahirnya negara ini.

Dasar-dasar filosofi bernegara Indonesia itu, menurut saya, tidak bisa dikompromikan dengan komunisme. Tapi ini jelas masalah tafsir, orang lain bisa saja mengatakan tafsir konstitusi bisa saja berbeda tergantung pada ahli hukumnya. Tapi saya tidak membela masalah hukum. Filsafat dasar komunisme tentang materialisme, dialektika, pembagian masyarakat ke dalam gelombang pusat, yang dibawah harus merundukkan yang di atas, revolusi, menurut saya tidak mendalam pembahasannya. Ya, itu yang saya pikir, negara itu adalah suatu pengejawantahan dari pada suatu ide dasar masyarakat yang dituangkan dalam ide dasar bernegara.

Kalau kita lihat tahun 1945 waktu itu, orang komunis tidak ikut dalam pembahasan UUD 45. Orang-orang sosialis sangat berbeda. Jadi terlihat suatu yang hal yang sebenarnya jauh lebih mendasar daripada hanya masalah TNI atau yang lain. Orang mengatakan Tap itu kan tidak ada dalam UUD 45, tidak ada larangan itu. Itulah yang saya katakan tafsir atas konstitusi. Ada suatu fase dalam sejarah kita, dengan menggunakan UUD yang sama, (Tap) itu tidak dilarang. Kemudian sekarang dilarang. Secara akademis, saya telah menolak (Tap) itu. Tapi 'kan pendapat akademis tidak selalu diangkat menjadi publik opini. Bagaimana pun juga suatu keputusan politik selalu diperdebatkan secara akademis, jadi saya pikir (masalah Tap) ini tergantung argumentasinya.

Saya dengan Magniz (Franz Magnis Suseno--pakar filsafat UI) kemarin berdebat tentang filosofis akademisnya, tidak debat politik. Dia dengan saya pikirannya kan sama. Saya mengatakan bahwa Tap itu tidak perlu dicabut. Magniz juga mengatakan, Tap itu perlu dicabut tapi komunis tetap dilarang. Pertanyaan saya, melarang komunis harus dengan apa? Kan harus dengan hukum juga. Kalau Tap itu
dicabut, melarang komunis harus dengan apa? Ya, harus dibikin peraturan baru. Nanti timbul lagi pertanyaan, kenapa Tap yang baru itu tidak dicabut juga. Di sini kita masuk jalan buntu

Jadi anda tidak setuju konsep komunis akan masyarakat tanpa kelas karena tidak sesuai dengan Pancasila?

Saya tidak bilang apa pun tentang Pancasila. Maksudnya, dalam pemikiran bernegara dan dalam realita sejarah, tranquil society tidak akan pernah ada. Saya mempelajari komunis cukup mendalam
dalam Dasar Filsafat. Saya telah membaca seluruh literatur PKI yang ada di Indonesia sejak 1916 sampai mereka bubar. Segudang itu bukunya. Penolakan saya punya satu dasar argumentasi, bukan suatu sikap apriori, tidak sama sekali.

Kalau secara institusi, adakah kemungkinan komunisme bangkit kembali dalam tubuh PKI yang baru jika diingat di tahun 1965 pembantaian habis-habisan sudah terjadi terhadap orang yang diduga PKI?

Saya nggak sependapat kalau dikatakan PKI sudah dibantai habis sampai akar-akarnya, apalagi sampai anak cucunya. Gembong-gembongnya saja nggak dibantai habis kok. Soebandrio masih
hidup, segar bugar, ehm walau dia bukan PKI ya .. salah satunya lah, atau Sidik Kertapati masih hidup di Belanda. Bagaimana bisa dikatakan sudah dibantai habis?

Pertama, ideologi berbeda dengan filsafat. Filsafat memang bisa dikritik. Dan seorang filsuf, kalau dia punya suatu pikiran positif tapi ketika pemikirannya dikritik orang lain, dan dia tahu bahwa
kritiknya itu lebih kuat dari argumen yang dia anut, dia akan bersedia meninggalkan pemikirannya. Tapi berbeda dengan ideologi. Adakalanya pemikiran filsafat itu ditransformasikan dalam bentuk
sebuah ideologi. Kalau dia menjadi suatu ideologi, ideologi menganut unsur absolutisme. Dalam kenyataannya, komunisme menjadi suatu pseudo religion. Bukan agama, tapi dia sama kuatnya seperti agama. Anda boleh saja mengkritik orang Katolik tentang Ketuhanan Yesus, ketidakbenaran doktrin tentang Trinitas dalam agama Kristen. Kalau anda mengalahkan dia dalam perdebatan, apakah orang itu lantas keluar dari agama Katolik? Karena persoalan religion itu tidak semata-mata persoalan rasional. Anda bisa tunjukkan pada orang Islam bahwa makan babi tidak ada salahnya apa-apa, tidak ada implikasinya dalam kesehatan, dibuktikan secara akademik. Lantas
apakah besok ketika dia disodori babi lantas dia langsung makan? Tidak akan!

Saya melihat komunisme sebagai suatu ideologi politik, apalagi kalau berkembang menjadi suatu pseudo religion, dia tidak akan pernah mati. Apalagi di Indonesia ini dalam kondisi masyarakat
seperti sekarang dimana kesenjangan sosial begitu lebar, perbedaan-perbedaan ekonomi begitu tajam. Orang-orang komunis yang dulunya pernah besar dan mereka itu pernah dilawan secara politik
kemudian dilarang, ini menimbulkan persoalan-persoalan psikologi, debat, kemarahan. Tetapi ada pula faktor-faktor bahwa dia bukan saja ideologi, dia adalah pseudo religion.

Dalam situasi seperti sekarang, kalau komunisme itu dikembangkan kekuatannya, itu bukan atas argumentasi rasional, tapi karena slogan-slogan. Dan di dalam partai komunis ada yang disebut badan
agitasi dan propaganda. Itu yang menarik, slogan-slogannya 'kan anti penindasan dan segala macam. Itu, bagi orang yang merasa tertindas, dia akan terobsesi dengan suatu harapan. Nah, saya melihat demo-demo misalnya, dengan menggunakan slogan-slogan Marxis. Misalnya, Revolusi Sampai Mati, Kaum Proletar, Kaum Miskin Kota. Saya melihat slogan-slogan yang digunakan itu slogan-slogan
yang paling tidak, kiri! Kalau pun mungkin orang yang ikut dalam barisan itu, dia tidak mengerti slogan Marx. Dan kebanyakan juga anggota-anggota PKI dulunya, tahun 1940 hingga tahun 1965, adalah orang-orang awam yang tidak mengerti Marxis.

Jadi sebetulnya ada grup elit yang bermain di belakangnya. Kita harus melihat sejarahnya juga dulu, tahun-tahun belasan ketika komunisme itu baru bangkit. Orang-orang yang digarap juga antara
lain orang-orang Serikat Islam. Misalnya, Semaun, Dharsono. Dua orang itu mula-mula bukan orang komunis. Tapi semakin radikal, semakin radikal, dan akhirnya menjadi komunis. Kemudian pola
seperti itu terulang lagi sekarang. Tergantung pada aktor intelektual yang ada di belakang. Jadi saya tetap berpendapat bahwa dari segi argumen apapun, saya tetap menolak.

Apakah anda tidak melihat usulan Gus Dur ini hanya sebagai usaha merebut perhatian dunia internasional bahwa kini Indonesia sudah benar-benar negara demokrasi begitu?

Ya, saya nggak tahu. Itu tanya Gus Dur 'lah. Saya nggak bisa menebak apa yang ada di hati orang. Tapi kalau dianggap seperti itu, apakah negara seperti Jerman bukan negara demokrasi karena dia
melarang NAZI?

Dengan silang pendapat tentang masalah ini antara anda dengan Presiden, apakah anda sampai bersedia mengundurkan diri? Namun, bukankah Presiden harus melalui anda sebagai Menkumdang untuk mengajukan usulan itu ke MPR?

Presiden bisa saja langsung ke MPR, tidak perlu melalui saya dulu. Kalau memang (usulan) itu tetap diajukan, untuk yang satu ini saya tidak akan kompromi. 

Load disqus comments

0 comments