Yang harus dipenuhi bagi napi bukan hanya hak-hak dasar napi sebagai manusia, tetapi hak-hak napi itu sendiri. Hak-hak napi itu diatur dalam Konvensi PBB tentang Perlakuan terhadap Narapidana dan detilnya diatur dlm Protokol Tokyo. Isi konvensi PBB itu sdh dituangkan dlm UU Pemasyarakatan Th 1995.
Hak-hak napi itu antara lain hak mendapat remisi, hak cuti menjelang bebas, mendapat asimilasi, hak mendapat bebas bersyarat dan sebagainya. Namun hak-hak itu diketatkan dengan PP 99 dan PP 20 untuk napi-napi tertentu. Padahal perlakuan terhadap napi tdk boleh ada perbedaan. Pengetatan bahkan penghilangan atas hak-hak tersebut menimbulkan keresahan yg meluas hampir di semua LP. LP Tanjung Gusta hanya awal saja.
Petugas LP juga pusing dg PP 99 dn PP 20 karena terkesan kita mulai tinggalkan sistem pemasyarakatan, kembali ke sistem penjara. Penjelasan Presiden di Halim kemarin hanya kemukakan agar hak-hak dasar napi dipenuhi. Hak dasar napi beda dengan hak-hak napi.
Presiden sebaiknya minta Menkumham jelaskan perbedaan hak-hak dasar napi sebagai manusia dengan hak-hak napi agar dpt memahami persoalan. Presiden harus tegur Menkopohukam yg sebut terorisme, narkotik, korupsi dan sebagainya, sebagai "extra ordinary crime" terkait PP 99 dan 20, Presiden harus menyuruh Menko Polhukam baca Statuta Roma tentang Pembentukan ICC dan berbagai literatur tentang crime agaist humanity agar paham. Presiden harus tegur Menkumham dan Wamennya agar pahami betul-betul UU Pemasyarakatan dan sistemnya agar tidak salah buat kebijakan.
Kalau Pemerintah mau kembali ke sistem penjara seperti zaman kolonial dulu, silahkan saja, siapa tahu Pemerintah sekarang ini menganggap sistem penjara kolonial lebih baik dari sistem pemasyarakatan. Jika itu yg dimaui, ajukan RUU utk cabut UU Pemasyarakatan dan berlakukan lagi Reglement Penjara Hindia Belanda dulu itu. Dengan berlakunya kembali Reglement Penjara, maka tidak ada persoalan lagi dg PP 99 dan PP 20 yg sejak 13 Juni yang lalu sedang diuji di MA.
Hak-hak napi itu antara lain hak mendapat remisi, hak cuti menjelang bebas, mendapat asimilasi, hak mendapat bebas bersyarat dan sebagainya. Namun hak-hak itu diketatkan dengan PP 99 dan PP 20 untuk napi-napi tertentu. Padahal perlakuan terhadap napi tdk boleh ada perbedaan. Pengetatan bahkan penghilangan atas hak-hak tersebut menimbulkan keresahan yg meluas hampir di semua LP. LP Tanjung Gusta hanya awal saja.
Petugas LP juga pusing dg PP 99 dn PP 20 karena terkesan kita mulai tinggalkan sistem pemasyarakatan, kembali ke sistem penjara. Penjelasan Presiden di Halim kemarin hanya kemukakan agar hak-hak dasar napi dipenuhi. Hak dasar napi beda dengan hak-hak napi.
Presiden sebaiknya minta Menkumham jelaskan perbedaan hak-hak dasar napi sebagai manusia dengan hak-hak napi agar dpt memahami persoalan. Presiden harus tegur Menkopohukam yg sebut terorisme, narkotik, korupsi dan sebagainya, sebagai "extra ordinary crime" terkait PP 99 dan 20, Presiden harus menyuruh Menko Polhukam baca Statuta Roma tentang Pembentukan ICC dan berbagai literatur tentang crime agaist humanity agar paham. Presiden harus tegur Menkumham dan Wamennya agar pahami betul-betul UU Pemasyarakatan dan sistemnya agar tidak salah buat kebijakan.
Kalau Pemerintah mau kembali ke sistem penjara seperti zaman kolonial dulu, silahkan saja, siapa tahu Pemerintah sekarang ini menganggap sistem penjara kolonial lebih baik dari sistem pemasyarakatan. Jika itu yg dimaui, ajukan RUU utk cabut UU Pemasyarakatan dan berlakukan lagi Reglement Penjara Hindia Belanda dulu itu. Dengan berlakunya kembali Reglement Penjara, maka tidak ada persoalan lagi dg PP 99 dan PP 20 yg sejak 13 Juni yang lalu sedang diuji di MA.
0 comments