Monday, September 7, 2015

Yusril Ihza Mahendra: Sejak Ratusan Tahun Lalu, Syari'ah Telah Menjadi Rujukan Hukum Kita

Berkaitan dengan hukum Islam, pakar hukum Prof Yusril Ihza Mahendra membuat tweet panjang yang menarik. Ia menjelaskan sejarah hukum Islam di tanah air dan berbagai hal berkenaan dengan hukum Islam. Menurut Yusril, hanya agama Islam, Yahudi dan Hindu yg membentuk sistem hukum. Diantara ketiganya, hukum Islam yang paling berpengaruh sampai kini.
Makanya matakuliah Hukum Islam diajarkan dimana saja di fakultas hukum, termasuk di Eropa, Amerika dan Amerika Latin. “Sementara agama Kristen, Buddha dan Shinto tidak mengandung norma hukum dan tidak melahirkan sistem hukum selama perkembangan sejarahnya.Sistem Hukum Kristen misalnya memang tidak ada di dunia ini. Jesus sendiri mengacu dan mentaati hukum Taurat seperti disebutkan dalam alKitab. Meskipun agama Kristen tidak membentuk sistem hukum, namun setelah Imperium Romawi memeluk Kristen, doktrin Kristen mempengaruhi Romawi. Doktrin dalam berbagai konsili itu dinamakan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Namun seiring dengan renesance pengaruh itu kian berkurang,” jelas Yusril. Di fakultas hukum manapun di dunia ini tidak diajarkan hukum Kristen, Hukum Buddha atau Hukum Shinto. Agama-agama tersebut tidak membentuk sistem hukum Pakar hukum ini melanjutkan, proses sekularisasi Eropa mendorong sekularisasi di bidang hukum, pengaruh gereja dalam pembentukan norma hukum makin memudar. Di fakultas hukum manapun di dunia ini tidak diajarkan hukum Kristen, Hukum Buddha atau Hukum Shinto. Agama-agama tersebut tidak membentuk sistem hukum. Menurut Guru Besar Hukum UI ini, secara sosiologis dan historis, hukum Islam tetap mempengaruhi para pemeluknya dari dulu sampai sekarang. Hukum Islam adalah the living law. Bagaimanakah hukum Islam di Indonesia? Sejak kedatangan Islam pengaruh hukum Islam itu cukup besar kepada masyarakat suku di Nusantara. “Ditingkat yang paling awal, pengaruh hukum Islam itu terletak di bidang peribadatan dan hukum kekeluargaan. Ketika terbentuk kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pengaruh hukum Islam makin besar karena dijadikan sebagai rujukan utama pembentukan hukum.

Pengaruh itu terasa di bidang hukum tatanegara, hukum pidana, perdata dan publik lainnya. Transformasi syari’ah ke dalam hukum kerajaan-kerajaan Nusantara dilakukan melalui kitab-kitab fiqih yg dijadikan pegangan oleh para ulama. Sebagian lagi ditransformasikan langsung ke dalam hukum positif kerajaan tersebut dalam bentuk Qanun, yang selanjutnya membentuk sistem peradilan,” terang Yusril. Dalam melakukan transformasi itu, kaidah-kaidah hukum kebiasaan atau hukum adat yang dijadikan sebagai sumber rujukan pembentukan norma hukum. Raja Melaka yang memeluk Islam, Parameswara, membentuk hukum laut yang sangat menarik. Namanya Qanun Laut Kesultanan Melaka. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu sangat menarik, mengingat posisi Melaka sebagai negara yang bertanggungjawab atas keamanan Selat Melaka. “Qanun yang diciptakan oleh kerajaan-kerajaan Islam Nusantara itu sangat banyak, belum terhimpun dengan baik, walau sudah ada beberapa riset tentang hal itu,” tulisnya. Kesultanan Cirebon misalnya mempunyai Pepakem yang berisi hukum positif kesultanan itu. Hukum Islam adalah the living law. Bagaimanakah hukum Islam di Indonesia? Sejak kedatangan Islam pengaruh hukum Islam itu cukup besar kepada masyarakat suku di Nusantara Hukum tatanegara pasti berlaku di kesultanan-kesultanan itu, mulai dari Kesultanan Ternate dan Tidore, Buton, Goa Tallo dan Makassar. Penelitian tentang ketatanegaraan Demak, Pajang dan Mataram Islam juga belum banyak dilakukan. Namun pasti norma-norma hukum Islam dibidang perkawinan berlaku di Mataram Islam, juga hukum jual beli. “Ketika VOC mulai menguasai tanah Jawa, mereka meminta Prof De Friejer untuk menghimpun hukum yg berlaku di tanah Jawa. Prof Priejer menerbitkan kompilasinya tahun 1660 yang ternyata kompediumnya itu berisi hukum Islam yg disana sini mengadopsi hukum adat Jawa. Dari berbagai ilustrasi tadi saya ingin menunjukkan bahwa sejak ratusan tahun yang lalu, syari’ah itu telah menjadi sumber hukum dan rujukan dalam pembentukan hukum dalam sejarah hukum di tanah air kita. Pertanyaannya kini adalah setelah kita merdeka dan membentuk sebuah republik yg demokratis, dimanakah posisi syari’ah itu?” tanya Yusril. Kemudian Yusril menjawabnya, ”Kemerdekaan kita sebagai sebuah bangsa belum banyak mengubah wajah hukum kita. Dari sudut pandang hukum, negara RI adalah penerus Hindia Belanda. Semua peraturan kolonial, kita nyatakan masih berlaku sebelum diadakan aturan yang baru menurut UUD45. Itu diatur dalam pasal peralihan UUD45. Meski demikian, Hindia Belanda dahulu mengakui keberlakuan hukum Islam walau terbatas pada hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Sementara hukum Islam di bidang peribadatan tidak dicampuri pemerintah kolonial. Bidang ini mereka anggap sensitif kalau diintervensi. Sementara untuk bidang hukum publik, pemerintah kolonial merumuskan norma hukum berdasarkan konstitusi Belanda.” Lebih lanjut ia menjelaskan, di bidang hukum privat pemerintah kolonial membagi penduduk Hindia Belanda dalam 3 golongan. Golongan Eropa tunduk pada BW dan aturan-aturan lainnya. Golongan Timur Asing tunduk pada hukum adat mereka, kecuali mereka sukarela menundukkan diri pada hukum golongan Eropa. ...sejak ratusan tahun yang lalu, syari’ah itu telah menjadi sumber hukum dan rujukan dalam pembentukan hukum dalam sejarah hukum di tanah air kita Ketiga, Golongan Inlander atau bumiputra mereka tunduk pada hukum adat mereka masing-masing.
Pemerintah Hindia Belanda katakan gol Inlander tunduk pada hukum adatnya, bukan tunduk pada hukum Islam, meskipun mereka taat kepada agama Islam. “Kebijakan Belanda tersebut terkait erat dengan politik devide et impera untuk memecah belah kaum bumiputra. Belanda tidak akui hukum Islam berlaku karena jika hukum Islam berlaku akan menyatukan semua suku bangsa yg beragama Islam. Dengan mendukung hukum adat, maka Belanda mudah memecahbelah mereka. Sejak awal abad 20, Pemerintah Hindia Belanda mengikuti teori-teori van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa yang berlaku di kalangan Inlander bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Hukum Islam baru berlaku apabila telah diterima atau “direcipier” oleh hukum adat. Pendapat-pendapat seperti itu di alam kemerdekaan dibantah oleh para ahli hukum adat sendiri seperti Prof Hazairin. Beliau mengatakan sebaliknya. Hukum Adat baru berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal itu disadari oleh orang Islam. Secara faktual hukum Islam adalah hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat Indonesia. Sebagai the living law, hukum Islam itu menjadi bagian dari kesadaran hukum rakyat yang tidak bisa diabaikan,” terangnya. Yusril melanjutkan, sebagai kesadaran hukum, maka negara demokratis manapun di dunia ini tidak dapat mengabaikan kesadaran hukum itu. Karena itu, Republik Philipina yang konstitusinya menyatakan dirinya sebagai negara sekular, belum lama ini mencabut UU Kontrasepsi. Sebab apa? Sebab mayorotas penduduk yang beragama Katolik menentang kontrasepsi sesuai doktrin gereja yg diyakini mayoritas rakyat. Tugas negara dalam merumuskan kaidah hukum adalah mengangkat kesadaran hukum yang hidup dikalangan rakyatnya sendiri menjadi hukum positif. Dengan demikian, negara tidak melawan kesadaran hukum rakyatnya sendiri, apalagi negara itu menganut kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam konteks seperti itu jugalah hendaknya negara RI. Negara adalah satu-satunya institusi yang diberi wewenang untuk memformulasikan norma hukum. “Karena itu, alm. Ismail Saleh mengatakan sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional kita adalah hukum Islam (syari’ah), hukum adat, hukum eks kolonial Hindia Belanda yg telah diterima oleh masyarakat Indonesia, serta konvensi-konvensi internasional yang sudah sudah kita ratifikasi. Kebijakan pembangunan norma hukum di negara kita ini haruslah mempertimbangkan kemajemukan bangsa kita. Karena itu di bidang hukum privat, khususnya hukum kekeluargaan, kita harus memberlakukan berbagai jenis hukum sesuai kemajemukan tersebut. Hukum Perkawinan dan Kewarisan misalnya mustahil untuk dapat disatukan dan diberlakukan kepada semua orang. Maka biarlah ada kemajemukan. Bagi orang Islam, negara memberlakukan hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang harus dituangkan dalam bentuk undang-undang. Begitu juga negara dapat mengangkat hukum kewarisan adat bagi komunitas adat tertentu, sesuai kesadaran hukum mereka. Sejalan dengan konsep negara kesatuan, di bidang hukum publik, sejauh mungkin negara merumuskan satu jenis hukum yg belaku buat semua orang,” jelas Yusril. Dosen Hukum Tatanegara UI ini melanjutkan, Hukum Lalu Lintas misalnya tidak mungkin ada beberapa jenis hukum yg diberlakukan secara bersamaan. Begitu pula di bidang hukum pidana dan hukum administrasi negara harus ada satu jenis hukum yg berlaku bagi semua orang. Dengan demikian, di bidang hukum publik kita memberlakukan unifikasi hukum.
 Sedang di bidang hukum privat kita hormati kemajemukan. Secara faktual hukum Islam adalah hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat Indonesia. Sebagai the living law, hukum Islam itu menjadi bagian dari kesadaran hukum rakyat yang tidak bisa diabaikan Dalam konteks merumuskan norma hukum publik yang betsifat unifikasi itu, kita merujuk kepada sumber-sumber hukum, yakni syari’ah, hukum adat, hukum eks kolonial yang sudah diterima dan konvensi-konvensi internasional yg sudah kita ratifikasi. Ketika sudah disahkan menjadi undang-undang, maka yang berlaku itu tidak lagi disebut syari’ah, hukum adat atau hukum eks kolonial, tetapi UU RI. Undang-undang Republik Indonesia itulah hukum positif yang berlaku di negara ini yang asalnya digali dari sumber-sumber hukum dengan mengingat kebutuhan hukum. “Apakah dengan berlakunya hukum Islam di bidang privat dan transformasi asas-asas syari’ah ke dalam hukum publik, Indonesia kemudian menjadi sebuah “negara Islam”? Bagi saya tidak. Negara ini tetaplah Negara RI dengan landasan falsafah bernegara Pancasila. Sama halnya dengan dijadikannya hukum adat di bidang privat dan ditransformasikannya hukum adat ke dalam hukum publik, tidaklah menjadikan Negara RI ini berubah menjadi Negara Adat. Negara ini tetaplah Negara RI dengan Pancasila sebagai landasan falsafah bernegaranya. Selama ini kita gunakan KUHP yang asalnya adalah Code Penal Napoleon yang diadopsi oleh Belanda dan diberlakukan di sini. Tokh negara kita tidak pernah berubah menjadi Negara Napoleon. Tetap saja negara kita Negara RI,” jelas cendekiawan Islam ini. [nh/sharia/voa-islam.com]
Load disqus comments

0 comments