Tuesday, August 20, 2013

Daerah Istimewa Surakarta Sah dan Konstitusional



Keterangan Ahli

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1950

TENTANG
PEMBENTUKAN PROVINSI DJAWA TENGAH


Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan,
Hadirin dan hadirat yang saya hormati,
Assalamu’alaikum wr. wb,


Izinkanlah saya, Para Yang Mulia, untuk memberikan keterangan ahli yang diperlukan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah di hadapan sidang yang mulia ini sebagai berikut:

  1. Saya sepenuhnya sependapat dengan para Pemohon bahwa norma angka1 dan norma Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 sejauh kata “dan Surakarta” adalah bertentangan dengan asas negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, juga bertentangan dengan norma Pasal 18D ayat (1) UUD 1945 yang mengakui keberadaan satuan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, serta bertentangan dengan 28D ayat (1) UUD 1945 tentang asas asas keadilan dan kepastian hukum;

  2. Keberadaan Surakarta sebagai daerah istimewa telah diputuskan oleh sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945. Sidang PPKI ketika itu dipimpin oleh Ketuanya, Ir. Sukarno, yang sehari sebelumnya telah diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia. Patut disadari bahwa pada tanggal 19 Agustus 1945 itu, Presiden RI memegang kekuasaan yang absolute berdasarkan Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945, yakni sebelum terbentuknya MPR, DPR dan DPA segala kekuasaan lembaga-lembaga itu dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional;

  3. Dengan memegang kekuasaan selain Presiden, tetapi juga MPR, DPR dan DPA itulah Presiden kemudian mengeluarkan sebuah Ketetapan tanpa diberi nomor, tetapi diberi tanggal yakni 19 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwonotetap pada kedudukannya sebagai Sunan atau Raja Surakarta, dengan segela kekewenangan di daerah kekuasaannya. Arti dari istilah tetap “pada kedudukannya” itu dapat ditelusuri dalam risalah rapat2 BPKUPKI dan PPKI, tentang keberadaan daerah-daerah istimewa atau dalam bahasa jepang disebut Kooti dan bahasa Belandanya disebutzelfbesturende landschappen. Dalam rapat PPKI tanggal 18 Agustus disepakati bahwa Pulau Jawa dibagi ke dalam tiga provinsi. Disamping 3 provinsi itu, seperti dikatakan Soepomo dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 “saya mufakat. Jadi Kooti (daerah istimewa) daerahnya di luar provinsi yang tiga itu. Daerah Kooti langsung dibawah pusat”.Sukarno dalam penutup rapat mengatakan “Barangkali semuanya sudah mufakat? (semua mufakat). Untuk sementara waktu urusan Kooti diatur seperti adanya sekarang”;

  4. Mengingat kedudukan Kooti (daerah istimewa) itu langsung berada di bawah Pemerintah Pusat, maka dilihat dari suasana kebatinan rapat-rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 itu, keberadaan Kooti (daerah istimewa) itu adalah setara dengan sebuah provinsi. Presiden RI, selain mengukuhkan kedudukan para penguasa Kooti (dalam hal ini Raja, Sultan atau Sunan), tetapi juga mengangkat seorang Wakil Pemerintah RI sebagai penghubung untuk daerah tersebut. Untuk Surakarta telah diangkat Raden Panji Soeroso sebagai wakil Pemerintah RI untuk daerah tersebut;

  5. Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta, selain termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional di Daerah, sebagaimana telah dikemukakan para Pemohon, juga diakui dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan tentang Dewan Pertahanan Daerah dalam Daerah Istimewa, yang antara lain menyatakan dalam Pasal 4a “Yang dimaksud dengan Dewan Pertahanan Daerah dalam daerah istimewa di Jawa adalah: A. Satu Dewan Pertahanan Daerah untuk Daerah Kasunanan dan Mangkunegaran. B. Satu Dewan Pertahanan Daerah buat Daerah Kesultanan dan Pakualaman”;

  6. Berdasarkan keterangan di atas, maka pembentukan Daerah Istimewa Surakarta Hadiningrat adalah sah dan konstitusional, baik oleh keputusan sidang PPKI, maupun Penetapan Presiden RI tanggal 19 Agustus 1945 serta penegasan dari beberapa undang-undang yang ada di tahun 1945 dan 1946. Penetapan Presiden pada waktu itu, adalah penetapan seorang pejabat yang sekaligus memegang kekuasaan MPR, DPR dan DPA, karena itu kedudukannya sangatlah tinggi dilihat dari sudut ketatanegaraan;

  7. Bahwa pada sekitar bulan Juni dan Juli 1946 terjadi berbagai pergolakan politik di Surakarta dan sekitarnya, yang berujung pada penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan beberapa menteri pada tanggal 27 Juni 1946. Dalam situasi seperti itu, maka Presiden menyatakan keadaan darurat (staat van oorlog en beleg) di seluruh wilayah negara. Kelompok kiri pada masa itu melancarkan gerakan “anti Swapraja” yang menelan korban beberapa bupati di Surakarta, dan menuntut penghapusan kekuasaan Sunan dengan alasan feodalisme yang tidak sesuai dengan semangat kerakyatan. Peristiwa itu hampir bersamaan dengan terjadinya Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang menuntut penghapusan kekuasan para Sultan Melayu, sehingga menewaskan Tengku Amir Hamzah, wakil Pemerintah RI untuk Daerah Istimewa Kesultanan Langkat. Banyak hal yang dilupakan dari sudut sejarah ketetanegaraan kita, bahwa akibat revolusi swapraja dan penculikan PM Sjahrir itu, sistem Pemerintahan kita kembali ke sistem Presidensial pada tanggal 29 Juli 1946 melalui Maklumat Presiden No 1 tahun 1946 jam 1 malam dan disiarkan oleh RRI Yogyakarta, setelah berubah ke sistem Parlementer pada tanggal 16 Oktober 1945. Setelah PM Sjahrir dibebaskan, sistem Pemerintahan kita dikembalikan lagi ke sistem Parlementer. Dalam konteks inilah, kita harus memahami lahirnya Penetapan Presiden Nomor 16SD/Tahun 1946 yang menyatakan Daerah Istimewa Surakarta untuk sementara dipandang sebagai “Keresidenan” (yang aslinya menggunakan tanda kutip), sementara pemerintahan di daerah Yogyakarta dan Surakarta langsung berada dibawah pimpinan Pemerintah Pusat. Dengan demikian, Penetapan Pemerintah No 16SD/Tahun 1946 samasekali tidak menghapuskan Surakarta sebagai daerah istimewa yang kedudukannya setingkat dengan provinsi;

  8. Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946 di atas dengan tegas menyebutkan bahwa pengambilalihan kekuasaan pemerintahan parlementer dari PM Sjahrir adalah sementara sampai dengan pulihnya keadaan. Sementara satu-satunya sandaran hukum dalam konsideran Penetapan Presiden Nomor 16SD/Tahun 1946 adalah Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946 itu. Karena itu penetapan pembentukan “Karesidenan” Surakarta haruslah dilihat sebagai tindakan sementara untuk mengatasi keadaan kacau akibat revolusi swapraja di Surakarta. Setelah keadaan pulih, Presiden Sukarno pada awal Agustus 1946, menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintahan kepada PM Sjahrir. Dengan pulihnya kedaaan, maka seharusnya keberadaan “Karisidenan Surakarta” juga berakhir, dan pemerintahan di sana kembali kepada sifat sebuah Daerah Istimewa;

  9. Oleh karena itu, norma angka 1 dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1950 yang menyebutkan “menghapuskan Pemerintahan Surakarta senafas dengan daerah karisidenan yang lain, yakni Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, Kedu adalah suatu kesalahan konsepsional dalam memahami kedudukan Surakarta sebagai daerah istimewa jika dikaitkan dengan Penetapan Pemerintah Nomor 16SD/Tahun 1946. Karesidenan Surakarta yang dibentuk untuk sementara berdasarkan Penetapan tersebut tidaklah identik atau sama dengan Surakarta sebagai Daerah Istimewa. Oleh karena itu, bisa saja Pemerintah mengeluarkan Penetapan (yang sudah tidak mungkin lagi di tahun 1950, kecuali dengan UU) untuk menghapuskan Karesidenan Surakarta. Daerah itu tetap menjadi daerah istimewa sebagaimana telah terbentuk pada tanggal 19 Agutus 1945, tanpa mungkin dapat menggabungkannya dengan Provinsi Jawa Tengah dengan menganggapnya sebagai sebuah karisidenan, yang dari sudut pembentukannya bersifat sementara berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16SD/Tahun 1946;

  10. Kesalahan konsepsional dan historis dalam merumuskan angka 1 dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1946, dilihat dari sudut pandang UUD 1945 pasca amandemen sekarang ini, jelaslah bertentangan dengan asas negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bertentangan dengan pengakuan terhadap keberadaan daerah yang bersifat istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18B UUD 1945, dan bertentangan dengan asas keadilan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

  11. Karena itu, saya menyarankan kepada Majelis Yang Mulia, sudilah kiranya mengabulkan Petitum pemohon untuk menyatakan bahwa norma angka 1 dan Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah sejauh mengenai kata “dan Surakarta” bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, dan sekaligus menyatakan bahwa Keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dan Penetapan Presiden RI tanggal 19 Agustus 1945 tentang pengakuan Surakarta sebagai daerah istimewa tetap berlaku karena sah dari sudut pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di masa itu, pembentukan Daerah Istimewa Surakarta itu adalah sah dan konstitusional dilihat dari sudut UUD 1945;

  12. Selanjutnya, tugas Presiden dan DPR bukanlah membuat undang-undang tentang Pembentukan Daerah Istimewa Surakarta, melainkan membuat undang-undang yang mengatur tentang Keistimewaan Surakarta sebagai Daerah Istimewa yang berkedudukan sama dengan sebuah provinsi, sebab pembentukan Daerah Istimewa Surakarta telah selesai dilakukan oleh PPKI dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945, dan dikeluarannya Penetapan Presiden RI yang ketika itu memegang kekuasaan MPR, DPR dan DPA juga telah mengeluarkan penetapan tentang Daerah Istimewa Surakarta itu;

  13. Sebab itulah, dalam berbagai kesempatan, saya mengatakan bahwa perjuangan beberapa tokoh dan juga warga masyarakat di Surakarta bukanlah untuk membentuk Daerah Istimewa Surakarta, melainkan untuk mengembalikan status daerah istimewa tersebut yang selama ini seolah tenggelam oleh sejarah.

Demikian keterangan saya, semoga ada manfaatnya. Atas perhatian majelis hakim yang mulia, saya ucapkan terima kasih.




Jakarta, 19 Agustus 2013

Ahli yang menerangkan,



Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc.
Load disqus comments

0 comments